Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menjelajahi "Jeroan" Kincir Angin di Zaanse Schans, Belanda

30 Januari 2019   06:15 Diperbarui: 30 Januari 2019   23:21 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi: kincir angin di kawasan wisata kincir angin di Zaanse Schans


Sudah lama mendengar  tentang kincir angin. Namun baru mengerti bahwa perkakas dasar bagian dalam kincir angin yang kuno terbuat sepenuhnya dari kayu. Dan secara simpel, kincir angin adalah bangunan yang bisa multi-fungsi: sebagai kincir untuk mendapatkan energi pendorong, dan bagian bawahnya dapat sekaligus difungsikan sebagai rumah tinggal atau bahkan warung berjualan. 

Di kawasan wisata khusus kincirangin di Zaanse Schans, sekitar 70 km dari pusat kota Den Haag, saya masuk dan mengamati jeroan sebuah kincir angin yang relatif besar: terbuat dari kayu, dan mungkin ini yang membuat kincir angin menjadi istimewa. 

Meski saat ini sudah banyak kincir angin yang dibuat dari besi. Bagian dalamnya tampak mirip dengan mesin jam tangan: beberapa jentera atau unit lempengan kayu bergigi yang berbentuk seperti gigi untuk rantai di kendaraan roda dua, sambung-menyambung, yang bergerak simultan akibat putaran kipas besar di atasnya karena ditiup angin, dan gerak itu yang kemudian menciptakan daya dorong di bawahnya: umumnya difungsikan sebagai pemompa air atau untuk menghasilkan energi pendorong.

Sempat membatin, lantas kenapa hanya Belanda di Benua Eropa yang populer dengan kincir angin? Negeri Kincir Angin identik dengan Belanda. Padahal boleh jadi di negara-negara sekitar (Jerman, Belgia dan Luxemburg) juga punya tradisi atau budaya kincir angin.

JIka mengacu pada kondisi alam di Belanda, secara kebudayaan, kincir angin bisa disebut bagian dari upaya warga Belanda beradaptasi dengan alam negerinya. Seperti orang Sulawesi lebih memilih rumah panggung kayu, dibanding rumah batu, karena beradaptasi dengan alam Sulawesi yang rentan gempa.

Selama beberapa hari menjelajahi beberapa kota utama di Belanda: Den Haag, Amsterdam, Utrecht dan Rotterdam, serta beberapa kota kecilnya, sepintas memang tak terlihat pegunungan. Dalam perjalanan antarkota, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hamparan tanah datar, yang tampak seperti persawahan. Tak terlihat dataran tinggi berupa bukit apalagi gunung.

Karena kontur tanah di sebagian besar wilayah Belanda bisa dibaratkan sebagai permukaan atau hamparan, maka terpaan angin memang cukup kencang dan nyaris tanpa jeda. 

Mungkin karena itu pula, kincir angin relatif tak pernah berhenti berputar karena selalu mendapatkan terpaan angin, yang bebas berhembus, karena tak terhalang oleh gunung atau pegunungan.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 30 Januari 2019/ 24 Jumadil-ula1440H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun