Saya-anda-dan-dia, bukan kebetulan dilahirkan di wilayah yang menempati sekitar seperdelapan garis khatulistiwa ini: dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Berjejer pulau-pulau sambung menyambung, itulah Indonesia.
Tanah kelahiran adalah bagian dari kehendak Allah. Suka tidak suka. Karena tiap orang tak penah memiliki pilihan di rahim ibu siapa ia akan dikandung lalu dilahirkan. Menyesali tempat kelahiran adalah bagian dari kufur nikmat.
Maka mencintai ibu pertiwi adalah bentuk syukur pada kehendak Allah. Tak peduli apa suku dan agamamu. Dari cinta ibu pertiwi itu, semestinya muncul semangat bela negara.
Dan wujud nyata bela negara akan terlihat pada keinginan tiap warga untuk berbuat positif, yang melampau tugas pokok profesinya. Sekecil apapun.
Banyak warga di pelosok yang mengajar padahal profesinya bukan guru. Tak terhitung jumlah warga yang membimbing tetangganya agar dapat berwirausaha, tanpa mengharap manfaat materi, padahal pekerjaannya bukan ekonom.
Menyebar atau merawat optimisme dan mencegah pesimisme di ranah publik adalah bentuk bela negara.
Suku, agama, ras, golongan, mazhab fiqhi dan pemikiran, apalagi sekedar pilihan partai politik adalah ibarat untaian mata rantai, yang mestinya diikat dan disatukan oleh tali kebersamaan. Hanya dengan begitu, bela negara dapat dilakukan secara maksimal, menggembirakan dan saling membahagiakan antar sesama anak bangsa.
Syarifuddin Abdullah | 19 Desember 2018/ 11 Rabiul-tsani 1440H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H