Selama kurang dari 24 jam sejak terjadinya gempa bermagnitudo 7,7 Skala Reachter (SR) di Donggala-Palu pada Jumat petang, 28 September 2018, pukul 18.02 WITA, foto-foto amatiran dan liputan para awak media, yang di-share dari menit ke menit terutama melalui media sosial, menunjukkan bahwa dampak gempa Donggala-Palu sungguh dahsyat.Â
Dan hampir bisa dipastikan, kondisi riilnya jauh lebih parah dan mengenaskan dibanding yang dibayangkan selama 6 sampai 12 jam pertama paska gempa.
Hingga tulisan ini ditulis, pihak berwenang belum mendapatkan informasi akurat, dan belum ada keterangan resmi. Namun satu per satu konfirmasi membuktikan betapa dampak gempa dan tsunami Donggala-Palu sungguh dahysat. Sabtu pagi ini, petugas kesehatan di RS Undata Palu, melalui wawancara langsung dengan salah satu stasiun televisi swasta mengkonfirmasi telah menerima 80 jenazah korban, dan sekitar 180 orang sedang menjalani perawatan, umumnya mengalami patah tulang. Jangan kaget jika dalam dalam beberapa jam ke depan, jumlah jenazah yang ditemukan bakal semakin bertambah.
Kedahsyatan dampak gempa Donggala-Palu cukup berasalan. Sebab magnitudo gempanya (7,7 SR) jauh lebih tinggi dibanding gempa tertinggi di Lombok pada 19 Agustus 2018, yang bermagnitudo 7 SR.
Dari tayangan gambar di berbagai stasiun televisi dan postingan di media sosial memperlihatkan, pada Jumat malam hampir semua warga di Donggala-Palu dan sekitarya tidak berani tidur di dalam rumah kediaman, umumnya memilih tidur di ruang terbuka dengan alas sekedarnya. Bantuan tenda dan alas tidur belum bisa menembus titik-titik konsentrasi korban gempa; mereka bersebaran di jalan-jalan.
Seluruh tim bantuan dari berbagai wilayah sekitar masih dalam perjalanan. Dan sebagian di antaranya mungkin tidak bisa menembus Palu dan Donggala akibat jalan akses terputus.
Banyak jalan mengalami kerusakan parah; tanah-tanah pecah, beberapa jembatan ambruk atau retak-retak; berbagai bangunan batu roboh; banyak rumah-rumah panggung kayu mengalami oleng; bahkan menara pengawas (control tower) di Bandara Syis Al-Jufri (sebelumnya bernama Bandara Mutiara) Palu juga dikabarkan ambruk dan mengalami kerusakan sistem navigasi pesawat; sebagian landasan pacunya pecah dan retak. Bandara akhirnya ditutup sampai ada pemberitahuan lanjutan.
Yang lebih mencemaskan: saya mengamati berbagai pemberitaan dan status di berbagai media sosial, dan kesimpulan awal saya: umumnya gambar dan foto hanya memperlihatkan situasi di wilayah Palu dan sekitarnya saja.
Sementara belum ada (atau masih sangat kurang) foto dan video yang menggambarkan situasi di Donggala dan sekitarnya, yang berjarak kurang lebih 35 km ke arah barat laut dari kota Palu.
Sampai Sabtu pagi (30 September 2018) masih banyak warga di luar wilayah Palu-Donggala yang kesulitan berkomunikasi untuk mengetahui kondisi dan keadaan anggota keluarga, handai tolan, teman dan sahabat di Palu. Beberapa gambar memperlihatkan, ada kapal yang melintang di jalan yang menghubungkan antara Palu dan Donggala.
Saya teringat, dalam kasus gempa dan tsunami Aceh, Desember 2004, instansi terkait dan publik membutuhkan waktu lebih dari 24 jam untuk mengetahui kondisi riil dan dahsyatnya dampak tsunami Aceh. Karena pada jam-jam pertama terjadinya gempa dan tsunami, jaringan komunikasi terputus.