Ada beberapa catatan ringkas yang layak dicermati dan bahan renungan terkait peristiwa Hijrah, yang di Indonesia diperingati pada Selasa, 11 September 2018:
Pertama, khalifah Umar bin Khattab yang berkuasa sekitar sepuluh tahun plus 6 bulan (berlangsung dari tahun 13 sampai 23H atau 634 sampai 644M), adalah peletak dasar atau awal Tahun Hijriah yang notabene terjadi sekitar 13 tahun sebelumnya, yakni pada 622M.
Artinya, penetapan awal tahun Hijriyah yang dilakukan pada awal kekuasaan Umar bin Khattab tersebut berlaku surut sekitar 13 tahun. Artinya juga, ketika Rasululah saw masih hidup (wafat tahun 11H atau 632H) sampai periode kekuasaan Abu Bakar Ash-Shiddiq (wafat tahun 13H atau 634M), ketika itu, belum dikenal istilah Tahun Hijriah. Dan penetapan ini akhirnya menjadi salah satu legasi dan sekaligus legenda Umar bin Khattab dalam sejarah Islam.
Kedua, ketika Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah, menurut beberapa sumber, umat Islam hanya berjumlah sekitar 250 sahabat. Mereka inilah yang menjadi pilar dan sekaligus kader yang melanjutkan risalah Islam, paska wafatnya Muhammad saw. Angka ini mungkin bisa dijadikan salah satu acuan untuk melakukan transformasi sosial secara radikal.
Ketiga, Hijrah adalah peristiwa sosio-historis secara par excellence. Seluruh rangkaiannya benar-benar faktual, dan karena itu, selalu layak dijadikan acuan dan obyek studi. Ada pergeseran lokasi dari Makkah ke Madinah. Pergeseran lokasi domisilu itu sarat dengan agenda strategis. Berbeda misalnya jika dibandingkan dengan peristiwa Isra' Mi'raj yang sangat kental sentuhan spritualnya.
Keempat, jika menggunakan bahasa modern, Hijrah tak ubahnya sebagai peristiwa pengusiran, yang berujung pada pengungsian atau eksodus para penganut Islam dari Makkah ke Madinah. Dan secara psikologis, salah satu siksaan batin paling berat bagi seseorang atau kelompok adalah ketika dia/mereka terpaksa atau dipaksa meninggalkan tanah kelahirannya.
Kelima, tiap kali menulis tentang Hijrah, saya selalu antusias mengulas bahwa penunjuk jalan yang memandu Rasulullah saw dan Abu Bakar dalam peristiwa Hijrah adalah seorang pemuda badui bernama Abdullah bin Uraiqith, yang menguasai jalur perjalanan Hijrah dan menempuh jalur yang tidak normal. Yang menarik bahwa Abdullah bin Uraiqith, ketika memandu perjalanan Hijrah adalah seorang non-Mulsim (belum memeluk Islam).
Terus terang, nalar saya selalu tumpul untuk bisa memahami kenapa Rasulullah saw memilih pemandu jalan non-Mulsim. Kecuali mungkin bahwa Muhammad saw ingin mengirim pesan gamblang bahwa untuk hal-hal praktis keduniaan, faktor profesionalitas (dalam hal ini: menguasai medan perjalanan) harus diprioritaskan dan jangan terlalu dikendalikan oleh pertimbangan ideologis. Wallahu a’lam.
Selamat merayakan Tahun Baru Hijriyah 1440H pada Selasa, 11 September 2018, meski sebagian besar negara-negara Arab dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya telah merayakannya lebih awal pada Senin, 10 September 2018.
Syarifuddin Abdullah | 10 September 2018/ 01 Muharram 1440H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H