Tak harus menunggu tahun 2019. Tapi mulai detik ini juga, pada sepertiga terakhir tahun 2018, dan seterusnya, semua pihak harus menegaskan kembali tekad untuk tetap bersaudara. Apapun hasil perhelatan 2019.
Saya mencermati intensitas perdebatan dan dinamika antara tetap dan/atau ganti pada tagar #2019. Dan sementara saya berkesimpulan: sebagian besar dalilnya mulai zigzag, tak lagi berbasis pada asas manfaat kebangsaan dan kenegaraan. Argumen pendukung yang dikemukakan terkesan kuat tak lagi tulus. Mudah-mudahan saya keliru rasa.
Di tengah suasana gaduh seperti itu, kita kesulitan untuk mengidentifikasi manfaat yang benar-benar urgen untuk ngotot berpihak ke salah satu dari dua pihak, khususnya bila pada akhirnya, pemihakan itu justru akan berujung pada adu nyali dan adu otot.
Dan saya pikir, kegaduhan itu terpicu oleh kecenderungan untuk terlalu menghitung variabel jangka pendek, sembari mengabaikan perjuangan jangka panjang. Akibatnya, bising dilawan dengan berisik, kemudian berisik dilawan dengan ribut. Percakapan yang tak lagi menggugah rasa, tak pula merangsang nalar.
Dan banyak yang mungkin lupa bahwa persaudaraan yang berbasis kebangsaan adalah sebuah konsensus, yang dalam ilmu sosial disebut kontrak sosial. Dan tiap konsesus menuntut semua pihak untuk legowo mengajukan konsesinya (mengalah). Ketulusan berkonsesi itulah yang akan merawat semangat kebersamaan. Namun rangkaian silogisme inilah yang akhir-akhir ini absen dalam dinamika perdebatan Tagar.
Syarifuddin Abdullah | 30 Agustus 2018/ 18 Dzul-hijjqh 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H