Ini cerita sungguhan. Kejadiannya sekitar akhir tahun 1979, dan diceritakan langsung oleh pelakunya, seorang santri angkatan kelima, bernama Syahrir (catatan: saya tidak tahu di mana Syahrir saat ini, semoga sehat selalu. Dia tidak tamat, keluar dari pesantren waktu masih kelas satu atau kelas dua, berasal dari Makassar, kalau nggak salah).
Ceritanya begini: di Pesantren IMMIM, KM 10, Tamalanrea, Makassar, ada satu kegiatan rutin, yakni membaca Quran secara berjamaah di masjid antara magrib dan isya. Dalam kegiatan ini, para santri lama akan mengaji sendiri-sendiri, sementara para santri baru (kelas-1) yang belum mengenal hurup Arab, atau yang belum fasih melafalkan hurup-hurup Arab, akan dikumpulkan di salah satu sisi kanan atau kiri masjid untuk diajari mengaji Quran.
Guru mengajinya adalah para santri senior. Ketika angkatan kelima masuk pesantren IMMIM pada 1979, santri paling senior, yakni angkatan pertama, masih duduk di kelas 5. Waktu itu, belum ada kelas 6.
Jadi, para guru mengaji adalah santri kelas 5, angkatan pertama. Salah satu di antaranya bernama kanda Khaeruddin Rabbi, yang kebetulan ditugaskan menghandle Syahrir yang belum bisa atau belum fasih mengaji.
Dalam kegiatan mengajari dan belajar mengaji tersebut, santri senior (guru) dan santri baru (murid) akan duduk bersila dalam posisi berhadapan, wajah keduanya berjarak sekitar 50 cm. Ada Quran di tengah, di antara keduanya. Dan biasanya, pasangan guru-murid mengaji ini tidak gonta-ganti, kecuali kalau santri seniornya berhalangan. Artinya, kak Khaeruddin Rabbi tiap hari berpasangan dengan santri baru yang bernama Syahrir itu.
Dan seperti biasanya, salah satu materi  pokok dalam mengajar mengaji adalah membimbing santri baru tentang cara melafalkan hurup-hurup Arab dengan artikulasi (makhraj) yang benar.
Dan mengajar orang mengaji sebenarnya gampang-gampang sulit. Apalagi ketika itu belum ada penemuan metode praktis mengaji seperti "metode iqra'". Sebab ada hurup Arab yang mudah dilafalkan seperti, alif, ba', ta', jim, mim, nun.
Tapi, beberapa hurup Arab lainya relatif sulit dilafalkan dengan artikulasi (makhraj) yang benar, seperti hurup tha' (), zha' (), dha' (). Diperlukan latihan berulang dan berkali-kali untuk mecapai artikulasi yang benar dan sempurna.Â
Sebagai gambaran, cara mengajar artikulasi hurup itu antara lain, menggambarkan posisi bunyi hurup di dalam mulut. Hurup kh () misalnya, posisinya di tenggorokan, dan menciptakan bunyi ribut di mulut tenggorokan bagian atas, yang mirip bunyi air mendidih.
Singkat cerita: kak Khaeruddin Rabbi mulai mengajari Syahrir cara melafalkan hurup zha' () dan dha' () secara berulang-ulang.
Khaeruddin Rabi: zha' (), dha' ().