Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2018, artikel ini coba mengulas sekilas tentang beberapa hal dalam tradisi keilmuan para ulama Islam:
Pertama, Jika disederhanakan, dalam tradisi keislaman, ada empat kategori keilmuan yang lazim: (1) ilmu alat (seperti bahasa dan logika); ilmu syariat praktis (hukum fikhi); (3) ilmu sosio-historis; dan (4) ilmu yang berkaitan dengan ruang spiritual.
Kedua, bahwa keempat kategorisasi ilmu itu saling berkaitan dan saling melengkapi. Kematangan seorang ulama (atau ustadz) akan ditentukan oleh sejauh mana dan sedalam apa pemahamannya terhadap masing-masing dari empat kategori ilmu itu.
Ketiga, seorang alim, kiai, ustadz yang menguasai ilmu alat dan ilmu syariat, misalnya, namun tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang sosio-historis, akan cenderung bersikap kaku, kadang meledak-ledak, saat merespon tiap dinamika kekinian.
Keempat, kematangan terhadap empat kategori ilmu itu akan tampak pada sikap kearifan. Dan kearifan lebih karena karunia, semacam "imbalan otomatis" atas ilmu. Kalau ada kiai atau ustadz yang masih suka mencibir, mengejek, emosional, gampang menyalahkan orang lain, maka itu adalah indikator kebelum-matangan ilmunya. Belum arif, belum bijak.
Kelima, pada tingkat tertentu, ketika sedang dan/atau setelah mendalami empat kategori ilmu di atas, maka lanjutan kedalaman ilmu (yang dapat berupa gagasan-gagasan segar terhadap suatu masalah kehidupan) lebih sering muncul dari hasil perenungan (kontemplasi). Bukan lagi semata melalui membaca teks, atau mendengar omongan atau melihat fakta. Ada semacam keyakinan bahwa ilmu yang benar-benar ilmu sebenarnya adalah hasil perenungan, yang menghasilkan konklusi yang genuine.
Ilmu dari hasil perenungan inilah yang kadang disifati "can't do wrong". Sebab dalam kearifan, tidak ada lagi dikhitomi benar-salah. Yang ada hanya: baik dan terbaik.
Keenam, jika wadah ilmu pada diri seseorang diibaratkan seperti tong raksasa, pada saatnya dan pada akhirnya, tong raksasa itu akan "penuh", lalu meluber dan menebar pesona kearifan kepada kehidupan. Dan dari sinilah akan muncul kharisma.
Ketujuh, bahwa kegiatan meng-ilmu-kan diri adalah proses yang tak bertepi, garis lurus yang tak berujung, sumur yang tak berdasar. Karena di atas langit, selalu masih ada langit. Ilmu itu tawadhu'.
Allahumma zid na ilman, ya Rabb (Ya Allah, senantiasalah tambahkan ilmu kami).
Syarifuddin Abdullah | 02 Mei 2018 / 17 Sya'ban 1439H