Minggu pagi itu, seperti biasanya selama bertahun-tahun, sebagian jamaah terlihat telah mengambil posisi di dalam dan di emperan masjid untuk shalat fajar. Sebagian besar lainnya tidak kebagian ruang di dalam masjid. Jamaah meluber di tiga jalan akses menuju masjid Jami' Baitul Latif, lokasi pengajian di Ponpes Al-Itqon, yang terletak di Jalan KH. Abdurrosyid, Tlogosari Wetan, Pedurungan, Kota Semarang.
Diperkirakan, jemaah pengajian sekitar 10.000 orang tiap pekan. Mereka datang terutama dari Kota Semarang dan juga beberapa wilayah satelit Semarang: Kabupaten Semarang, Demak, Kendal, Ambarawa. Jamaah yang dari luar kota Semarang mungkin berangkat dari rumah sekitar jam 03.00 atau jam 04.00 dinihari.
Sehabis shalat fajar dan wirid, sang kiai mengambil posisi: duduk bersila di belakang meja setinggi sekitar 30 sentimeter, lalu mulai membaca dan menjelaskan kandungan buku tafsir Al-Ibris yang berbahasa Jawa, karya KH Basri Mustofa. Pengajian tafsir ini berlangsung sekitar sejam. Setelah itu, Sang Kiai mengganti buku dan mulai menjelaskan kandungan buku Al-Hikam, karya Ibnu Atha'illah al-Iskandari (As-Sakandary).
Suasana itu telah berlangsung rutin sejak bertahun-tahun silam pada tiap hari minggu pagi, sehabis shalat fajar sampai sekitar jam 08.00 WIB, dengan jamaah yang cenderung terus bertambah.
Seorang jamaah, yang mengakui mengikuti pengajian rutin itu sejak tahun 2001, mencoba mengingat-ingat: "seingat saya, sudah tiga kali menamatkan buku Al-Hikam. Dan setiap kali tamat, jamaah merayakannya kadang dengan memotong kambing, dengan tumpeng nasi kibuli".
Pengajian yang populer dengan materi sufistik itu adalah pengajian warisan: awalnya dipimpin oleh Mbah KH Abdurrosyid (yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan utama yang kini menjadi lokasi pengajian: Jalan KH. Abdurrosyid). Ketika KH Abdurrosyid wafat, pengajiannya dilanjutkan oleh menantunya, KH Shadaqah Hasan. Giliran KH Shadaqah Hasan wafat pada 1988, pengajian itu dilanjutkan oleh putranya KH. Ahmad Haris Shodaqoh, yang berlangsung sampai hari ini.
Awalnya, pengajian mingguan KH Kharis Shodaqoh dipersepsikan sebagai pengajian untuk kalangan wong tuo, bapak-bapak dan ibu-ibu. Tapi lama kelamaan, jamaahnya juga banyak dari kalangan anak muda atau paruh baya.
Salah satu yang menarik perhatian saya: shahibul-bait atau panita penyelanggara pengajian rutin tidak menyediakan konsumsi untuk jemaah. Tidak ada snack ataupun minuman. Artinya, jemaah memang datang untuk menimba ilmu. Setiap jamaah membawa bekal sendiri dari rumahnya masing-masing. Atau kalau mau, membeli jajanan di lapak-lapak yang bertebaran di sisi dan di sepanjang jalan atau gang akses menuju masjid utama. Banyak warga di sekitar lokasi pengajian yang berjualan beragam jajanan (kue, nasi bungkus porsi sarapan, gorengan dll) atau perlengkapan pakaian muslim (songkok, tasbih, baju koko dll). Pendek cerita, pengajian itu mandiri, menghidupi dirinya sendiri, dan menghidupkan warga sekitar. Berkah pengajian dan ketulusan sang kiai.
Saya pernah sekali mengikuti pengajiannya, dan kesan saya, penampilan dan gaya penjelasan KH Ahmad Haris Shodaqoh tidak meledak-ledak. Kefasihannya tampak jelas dari makharij (pengucapan hurup Arabnya). Oleh karena pengajian itu sudah berlangsung bertahun-tahun, tampak jelas bahwa Sang Kiai terkesan malah sudah menghapal dan menguasai tiap halamam dua buku acuannya (Al-Ibriz dan Al-Hikam),
Tentu sesekali sang Kiai mengeritik kondisi dan perilaku sosial-politik lokal dan nasional, namun tetap dengan bahasa amat santun, yang mungkin hanya dipahami oleh pendengar yang memiliki kepekaan rasa yang di atas rata-rata. Dan seperti umumnya pengajian yang bernuansa sufistik, materi utamanya tentu sarat dengan sentuhan tariqat dan pembinaan akhlak (catatan: karena sang kiai lebih sering menggunakan bahasa Jawa, yang saya kurang pahami, maka saya hanya bisa menikmati suasana pengajiannya).
Fakta bahwa pengajian di Ponpes Al-Itqon itu sudah berlangsung bertahun-tahun, dengan jemaah yang terus bertambah, pencerahan sang kiai yang fokus pada pembinaan perilaku keseharian, panitia penyelenggara yang tidak menyediakan konsumsi berupa snack atau minuman, semua itu menunjukkan bahwa pengajian itu terlaksana dengan ketulusan mengabdi pada ilmu. Azhim.