Tapi kalau diulas kira-kira begini: seperti halnya cinta, keadaan asyik (rindu) juga tak bisa disederhanakan. Rindu mengandung nikmat dan kepedihan pada saat yang bersamaan. Asyik (rindu) adalah keadaan jiwa yang terjadi ketika sang perindu kehilangan semua taji rasionalitasnya. Asyik (rindu) adalah wilayah rasa, bukan akal.
Valentino: cinta dan asyik berarti satu paket, dong?
Vale: yes.
Valentino: lantas kesimpulannya apa dong?
Vale: Salah satu misteri cinta adalah obrolan tentangnya tak pernah tuntas. Semakin dikaji semakin kabur. Membahas cinta berarti siap untuk tak berkesimpulan. Cinta itu dinikmati dengan rasa, bukan dengan akal.
Valentino: oke, baik. Bagaimana cerita cinta di kalangan para sufi?
Vale: tiap cinta adalah praktek sufi, dan tiap pencinta adalah sufi. Karena salah satu makna kosakata sufi adalah rasa yang halus dan lembut.
Para sufi memaknai cinta sebagai pengalaman personal, yang kenikmatan rasa atau auranya tak bisa dibagi atau di-share kepada orang lain, siapapun dia.
Bagi sufi, cinta adalah keadaan batin tanpa dimensi; Keadaan jiwa yang tak lagi mempersoalkan dikotomi antara jauh-dan-dekat. Suasana batin yang meleburkan dua obyek: perindu dan yang dirindukan, pencinta dan yang dicintai. Suasana jiwa yang tak lagi membedakan antara cair-dan-padat, nyata-dan-abstrak. Tak lagi memilah antara suara-dan-diam; bahkan tak lagi peduli  membedakan antara hidup-dan-mati.
Karena cinta adalah suasana batin dimana tak ada lagi tirai pemisah, tak lagi ada sekat antara yang mencintai dan yang dicintai.
Syarifuddin Abdullah | 14 Januari 2018 / 29 Jumadil-ula 1439H.