Selama tahun 2017, setidaknya ada dua kasus hoax di medsos, yang biasa dirujuk untuk membuktikan betapa sebuah paket informasi hoax bisa memicu persepsi yang sangat jahat: isu tentang 10 juta warga negara China yang bekerja ilegal di Indonesia.Â
Kasus ini sempat dikeluhkan dan lalu diklarifikasi oleh Presiden Jokowi, namun setelah isu itu berseliwerang selama kurang lebih satu bulan. Kasus kedua, berbagai isu keagamaan dari dua kubu yang bertarung di Pilkada DKI 2017: kubu Anies-Sandi vs Ahok-Djarot di Pilkada DKI. Mungkin saking hebohnya, majalah Tempo (edisi 24-30 April 2017) sampai menurunkan Laporan Utama dengan judul "Agama dan Luka Pilkada".
Tapi saya kira, persoalan yang dimunculkan Medsos jauh lebih kompleks dibanding sekedar paket informasi hoax. Jangan-jangan kita -- para Netizen -- memang belum akrab dengan tradisi keilmuan: mempertanyakan setiap informasi yang diterima atau dibaca.
Medsos telah menjadi realitas kekinian: bagian dari gaya hidup modern, yang ciri utamanya adalah keberlimpahan informasi. Saat ini, jika ingin membaca tiap postingan yang dibagi orang lain dan masuk kehandphone melalui aplikasi Medsos (Facebook, Twiiter, Telegram, Whatsapp dan sebagainya), mungkin tiap orang akhirnya nyaris tak punya waktu yang tersisa, bahkan untuk sekedar menyapa orang lain.
Membuka dan membaca di Medsos bukan lagi sekedar rutinitas sampingan, tapi posisinya telah menjadi "kewajiban tambahan". Jika tidak dikontrol, mungkin kita akan terkena sindiran salah satu dari 10 pesan Hasan Al-Banna: "Kewajiban yang harus ditunaikan jauh lebih banyak dibanding waktu yang tersedia".
Tapi suka tidak suka, Medsos telah menjadi penyita waktu, yang sudah tidak cukup itu. Dan ketika sebuah pesan disebar berantai dan dibaca berulang-ulang di Medsos, memang akhirnya ungkapan propagandis Nazi Jerman, Josef Goebbels, lagi-lagi menemukan pembenaranya: "If you repeat a lie often enough, it becomes truth" (kebohongan yang diulang-ulang cukup sering akan menjadi kebenaran).
Tapi jangan salah: "kebohongan yang diulang-ulang" itu, juga berlaku dan dilakukan oleh semua iklan di berbagai media. Kebohongan yang diulang-ulang oleh sebuah meme hoax hanya beda-beda tipis dengan kebohongan iklan sebuah produk di layar kaca. Keduanya tipu-tipu.
Lantas apakah "konsep membaca" Medsos di kalangan publik (Netizen) harus diubah, diarahkan atau ditingkatkan kualitasnya. Banyak pakar mengadvokasi perlunya publik mendidik dirinya sendiri terkait cara memperlakukan Medsos. Saya pikir iya, tapi dengan sejumlah catatan:
Pertama, Medsos telah menawarkan dan menjadi ruang yang setara bagi siapa pun, termasuk mereka yang punya misi dan ide tertentu, namun tidak terakomodir oleh media-media mainstream. Medsos telah menjadi ajang baru pertarungan gagasan, dengan segala kejujuran dan tipu-tipunya.
Kedua, mempersoalkan medsos hanya sebagai sumber hoax, tidak fair juga. Karena saat ini, media-media mainstream, dari luar atau dalam negeri, dapat diakses via handphone. Bahkan jika mau mengetahui suasana hati, pikiran bahkan arah kebijakan Donald Trump, Presiden Amerika itu, yah, harus membaca twit-nya di Twitter.
Ketiga, ada masanya banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, mengalami periode di mana hoax (baca propaganda) disebarkan lewat buku-buku, artikel-artikel atau film yang disponsori dan diproduksi oleh orang yang dipandang sebagai kaum cendekia. Terlihat ilmiah dan logis memang. Zamanlah yang kemudian membuktikan keculasan ulasan propaganda tersebut.