Warga Amerika yang bertanya itu, terlihat terkaget-kaget, dan kembali bertanya dengan nada heran: why? Dan saya menjawabnya dengan empat catatan berikut:
Pertama, di Jakarta sangat sulit mendapatkan trotoar untuk jalur pejalan kaki. Di Jalan Sudirman-Thamrin dan Rasuna Said yang merupakan jalan utama di Jakarta memang memiliki jalur pejalan kaki. Tapi sama sekali tak bisa dibandingkan dengan sidewalk di New York atau Washington DC, baik dari segi lebarnya, penataannya, dan apalagi tingkat kenyamanannya.
Kedua, sebagian besar jalan-jalan di Jakarta boleh dibilang tidak ramah untuk pejalan kaki. Bahkan banyak sekali jalanan di Jakarta yang sama sekali tidak memiliki jalur pejalan kaki. Sebagian trotoar yang sudah sedikit dan sempit itu pun masih sering diserobot pengendara motor atau kios pedagang.
Ketiga, kategorisasi jalan di dalam kota Washington DC atau NYC sangat jelas: St (Street), Rd (Road) Ave (Avenue), Blvd (Boulevard) dan Highway (tol). Sementara di Jakarta, kita tidak bisa lagi membedakan kategorisasi beberapa jalan yang bersambung, misalnya: Gunung Sahari - Kramat Raya - Salemba - Matraman - Jatinegara Timur - Otista - Dewi Sartika.
Keempat, sebuah kota mestinya menfasilitasi kebutuhan jalur untuk semua kelas warga dan pengunjungnya: pengendara mobil, pengendara motor, pejalan kaki. Jika tidak, mungkin hanya layak disebut "kota-kotaan". Dan untuk menata ulang kota sekelas Jakarta - jika pun diniatkan - memang memerlukan keputusan radikal yang berani.
Syarifuddin Abdullah | Washington DC, 17 Nov 2017 / 28 Shafar 1439H