Jika sering menonton film-film aksi Hollywood, Anda mungkin akrab mendengar kata block ketika menggambarkan kawasan atau situasi jalan atau satuan jarak di Amerika. Dan pemahaman kata blok di perumahan-perumahan di Indonesia, meski mirip, tapi berbeda dengan makna block di kalangan warga atau tata ruang dan tata kota di Amerika.
Saya bertanya kepada sejumlah warga Washington: what do you mean by the word 'block'?
Pertama, orang Amerika jarang menggunakan satuan matrik (meter atau kilometer) ketika berbicara tentang jarak. Jika di jalan-jalan dalam kota Anda bertanya berapa jarak dari satu titik ke titik lainnya, warga Amerika tidak akan menjawab, sekitar 500 meter atau 1 kilometer. Tapi akan menjawab: about two or three blocks away from here (sejauh sekitar 2 atau 3 blok dari sini).
Kedua, luas dan panjang setiap blok bervariasi. Namun rata-rata sekitar 500 sampai 1.000 meter. Artinya one block away berjarak sekitar 500 sampai 1.000 meter.
Jika dibanding dengan kota Jakarta, kecuali untuk beberapa kawasan seperti Blok M dan Menteng, kita akan sulit - dan memang tidak harus - menggunakan kata block untuk mendeskripsikan tata ruang kota. Lagian, seperti diketahui, banyak hal terkait tata ruang dan tata kota di Jakara, yang memang sudah salah dari sononya.
Ketiga, di setiap titik pertemuan (conjunction) antara empat blok, umumnya akan ada traffic light (lampu merah). Makanya, Washington DC boleh disebut kota dengan seribu-satu lampu merah. Dan tentu saja, banyaknya lampu merah itu menjadi salah satu biang kemacetan kota Washington.
Saya jadi ingat film "Collateral" (2004), yang diperankan Vincent (Tom Cruise) sebagai pembunuh bayaran dan Max (Jamie Foxx), supir taksi kuning (Yellow Cab), yang menguasai jalan-jalan di kota Los Angles (LA). Karena pengalamannya, Max mampu memperkirakan waktu tempuh antara satu tititk ke titik lainnya di dalam kota LA. Dan salah satu andalan Max untuk memaksimalkan prediksi waktu tempuhnya adalah menguasai bagaimana menghindari lampu merah di setiap persimpangan block.
Keempat, dan di setiap lampu merah itu, akan ada jalur zebra untuk pejalan kaki. Dan saya cermati, pengendara sangat menghargai pejalan kaki yang berdisiplin. Setiap orang umumnya akan menyeberang jalan di lampu merah, ketika lampu pejalan kaki berwarna putih. Dan jangan coba-coba menyeberang ketika lampu pejalan kaki masih berwarna merah. Sebab para pengemudi mungkin akan memperlakukan Anda seperti "batu" yang layak dilindas atau ditabrak. Seorang warga Amerika yang pernah hidup di Jakarta dan tahu bahwa pejalan kaki di jalan-jalan Jakarta bisa menyeberang seenaknya, sambil bercanda mewanti-wanti: please don't do that here! It doesn't work here in America's cities.
Pesannya: untuk mengelola sebuah kekacauan, jangan berharap kedisiplinan yang sukarela. Kedisiplinan itu harus dipaksakan.
BERLANJUT
Syarifuddin Abdullah | 10 Nop 2017 / 21 Shafar 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H