Menghadapi dan menanggulangi aksi teror perorangan sekelas aksi teror New York yang dilakukan oleh Sayfullo Saipov, 29 tahun, pada Rabu 01 Nop 2017, tidak memerlukan analisa canggih dan kajian yang bersifat strategis dan shopisticated.
Sebab kita berhadapan dengan pelaku yang sangat praktis dan sederhana: seorang diri, merencanakan sendiri, melakukan aksinya kapanpun dan dimanapun dia mau, memilih sendiri target serangan, dan hanya menggunakan peralatan yang tersedia (baca: mobil pickup).
Tidak aneh, beberapa jam setalah aksi yang menewaskan 8 orang tersebut, sebagian pejabat terkait di Amerika tampak terdadak dan terkesan bingung menyikapinya.Â
Melalui akun Twitter-nya, Presiden Amerika Donald Trump berkomentar bahwa  sistem keadilan di Amerika adalah  "a joke and ... laughingstocks (lucu dan barang tertawaan), dan lalu mengancam akan membawa pelaku NY Attack ke Guantanamo. "We also have to come up with punishment that's far quicker and far greater than the punishment these animals are getting right now (kita juga harus segera merumuskan hukuman yang lebih cepat dan lebih besar dibanding hukuman yang diperoleh oleh para binatang itu saat ini).
Lalu pada 2 Nop 2017, giliran Attorney General (Jaksa Agung) Jeff Sessions ikut bersuara: diperlukan beberapa paket kebijakan untuk melindungi Amerika dari serangan aksi teror: pemerintah akan menggunakan "all lawful tools at our disposal (semua perangkat hukum yang ada).
Lebih lanjut Jeff Sessions menjelaskan tiga langkah untuk melindungi Amerika: "Enforcing hardline immigration policies, requiring that the tech sector grant law enforcement access to electronic evidence, and maintaining surveillance powers for the intelligence community(kebijakan keras di bidang imigrasi; sektor teknologi harus mendukung penegakan hukum, dan mempertahankan pengawasan intelijen)".
Tak satupun yang baru dari kebijakan-kebijakan itu. Semua sudah dilaksanakan. Hanya memang belum mampu mendeteksi rencana aksi teror sekelas aksi Sayfullo Saipov.
Dan seperti biasanya, muncul beberapa pernyataan realistis. Salah satunya dari Matthew Olsen, mantan Direktur National Counterterrorism Center (NCTC), yang juga menjabat General Counsel untuk National Security Agency (NSA) dan Special Counsel untuk Direktur FBI, yang mengatakan "The reality is that as long as we live in an open and free society, it's difficult if not impossible to stop every attack like this, and to vet every single person before they entered the country (realitasnya, selama kita hidup dalam sistem masyarakat terbuka dan bebas, maka sulit atau bahkan mustahil untuk menghentikan serangan teror seperti ini, seperti sulitnya menginterogasi secara detail setiap orang sebelum datang ke Amerika)".
Tapi apa sih istimewanya serangan teror Sayfullo Saipov bagi Amerika? Toh, ini bukan kali pertama Amerika mengalami aksi teror. Lagi pula, serangan serupa pernah terjadi di Nice Perancis, Barcelona Spanyol, London Inggris, Berlin Jerman. Jawabannya mungkin salah satu atau semua catatan berikut:
Pertama, serangan Sayfullo Saipov memang sangat kecil, jika dibanding serangan 11 September 2001 (9/11). Tapi karena serangan terjadi di West Side, di jantung kota New York, maka serangan itu menjadi persoalan harga diri. New York relatif aman dari ancaman aksi teror sejak peristiwa 9/11.
Sayfullo Saipov mengirim pesan tegas ke Amerika: "Kami di sini, akan tetap di sini, dan siap beraksi". And so far, nothing America can do to deal with it.
Kedua, tidak/belum ada satu pun institusi keamanan dan intelijen Amerika yang memiliki informasi valid terkait aksi Sayfullo Saipov. Anda mungkin menyebutnya sebagai kegagalan intelijen Amerika. Tapi sesungguhnya bukan. Sebab aksi Sayfullo Saipov memang sulit bahkan mustahil terdeteksi bahkan oleh lembaga telik sandi paling canggih sekalipun.
Ketiga, sebagai negara adidaya, Amerika termasuk negara yang menerapkan dua konsep perbatasan negara: (1) perbatasan riil yang bersifat konvensional. Dalam hal ini, Amerika bahkan berniat membangun wall (dinding) tembok pembatas sepanjang perbatasannya dengan Mexico. (2) perbatasan yang boleh disebut perbatasan virtual. Di sini Amerika menerapkan sistem perbatasan di luar perbatasan konvensionalnya. Dan ukurannya adalah soal potensi keamanan. Konsep inilah melatarbelakangi pengiriman pasukan Amerika ke Irak dan Afghanistan. Sebab di kedua negara ini, Amerika meyakini adanya potensi ancaman terhadap kepentingan Amerika.
Kebijakan pre-emptive mantan Presiden George Walker Bush paska serangan 9/11 adalah manisfestasi atau upaya mengamankan perbatasan virtual tersebut. Pre-emptivemengasumsikan perlunya "menghabisi" setiap potensi ancaman sebelum benar-benar menjadi ancaman benaran. Itu pula yang melatarbelakangi kenapa Amerika menggenlontorkan banyak dana untuk mensukseskan agenda war on terror.
Keempat, aksi Sayfullo Saipov mempermalukan harga diri Amerika dan terutama pemerintahan Donald Trump. Sebab sebagian rakyat Amerika mungkin akan menyindir begini: jika tak mampu melindungi New York dari aksi teror, lalu untuk apa mengalahkan ISIS di Irak dan Suriah, mengalahkan Al-Qaeda di Afghanistan, Somalia dan Yaman, dan menjadi penggerak War on Terror secara global.
Kelima, serangan Sayfullo Saipov kembali membuktikan efektivitas imbauan Abu Bakar Al-Baghdady agar para pendukung dan simaptisan ISIS melakukan aksi teror dengan menggunakan segala cara, di negaranya masing-masing.
Keenam, mendeteksi rencana aksi teror seperti yang dilakukan oleh Sayfullo Saipov cuma bisa dilakukan secara maksimal melalui proses praktek manual: humint (human intelijen). Di sini teknologi canggih dan kajian strategis nyaris tak berdaya, kecuali sebagai pendukung.
Syarifuddin Abdullah | 05 Nopember 2017 / 16 Shafar 1439H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H