Menjadi minoritas yang diakui saja susah dan tidak leluasa bergerak, apalagi minoritas yang tak diakui. Itulah yang dialami lebih dari 1 (satu) juta Muslim Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Pemerintah Myanmar memposisikan Rohingya sebagai stateless (yang tak punya negara). Pemerintah Bangladesh pun bersikap serupa.
Tragedi Muslim Rohingya bukan kali ini saja. Tiap tahap sejarah perjalanan Muslim Rohingnya adalah duka dan tragedi. Sungguh keliru bila kali ini kita seakan kebakaran jenggot dan menganggap seolah-olah korban tewas kali ini lebih bernilai dibanding korban tewas beberapa tahun sebelumnya atau mungkin puluhan tahun silam.
Meskipun memang harus diakui bahwa tragedi kali ini memiliki peningkatan kualitas, karena diawali oleh serangan kelompok kombatan dari unsur ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) terhadap 24 pos militer Myanmar, yang menewaskan 32 polisi pada periode 25 s.d 27 Agustus 2017.
Ada beberapa catatan menarik tentang 24 kali serangan itu, yang terjadi hanya dalam tempo tiga hari (25, 26, 27 Agustus 2017):
Pertama, tidak ada penjelasan dari sumber ketiga untuk mengkonfirmasi kebenaran dan akurasi terkait jumlah pos yang diserang, misalnya, apakah semua pos yang diserang kategorinya sama (pos besar, pos sedang atau pos kecil) atau rentang jarak antara satu pos dengan pos-pos lainnya.
Kedua, saya mencoba mencermati pemberitaan: terjadi penyerangan terhadap 24 pos militet, tapi yang diberitakan tewas adalah 32 polisi. Pertanyaannya, itu pos militer atau pos polisi? Kecuali kalau pos-pos militer ditunggui oleh polisi.
Ketiga, perbandingan antara jumlah pos yang diserang (24 pos) dan jumlah korban tewas sebanyak 32 polisi, cenderung bisa dipastikan bahwa ke-24 pos itu adalah kategori pos kecil, yang mungkin hanya ditunggui 1 atau 2 personil.
Keempat, ada kemungkinan penyerangan itu terjadi karena kemampuan tempur anggota ARSA telah mengalami peningkatan, secara taktis ataupun persenjataan. Kemungkinan ini cukup logis jika dikaitkan dengan imbauan yang pernah disampaikan oleh Ayman Al Zhawahiry, pimpinan Al-Qaeda, agar umat Islam membantu Muslim Rohingya dalam melawan kezaliman rezim pemerintah militer Myanmar.
Kelima, ada kemungkinan lain, pihak ARSA sengaja mendesain serangan yang bisa memicu reaksi keras militer Myanmar (dan itulah yang terjadi), dengan tujuan agar kasus itu menarik perhatian publik internasional, termasuk dari negara-negara anggota ASEAN (dan juga sudah terjadi). ARSA ingin agar kasus Rohingya tak terlupakan.
Keenam, sebaliknya dari point kelima, juga dimungkinkan bahwa justru militer Myanmar yang sengaja membuka peluang bagi ARSA untuk bisa melancarkan serangan, agar militer Myanmar memiliki alasan pembenar untuk melakukan serangan balik yang lebih keras dengan jelajah operasi yang lebih luas.
Ketujuh, model perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya, persis sama dengan model perlakuan pemerintah Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza: menutup akses bantuan kemanusiaan, dan tidak memberikan akses bagi media untuk meliput kondisi faktual di wilayah Negara Bagian Rakhine, di bagian barat daya dan barat Myanmar.