Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tragedi Muslim Rohingya, Myanmar

6 September 2017   06:26 Diperbarui: 6 September 2017   07:58 4418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: wikimedia.org

Menjadi minoritas yang diakui saja susah dan tidak leluasa bergerak, apalagi minoritas yang tak diakui. Itulah yang dialami lebih dari 1 (satu) juta Muslim Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Pemerintah Myanmar memposisikan Rohingya sebagai stateless (yang tak punya negara). Pemerintah Bangladesh pun bersikap serupa.

Tragedi Muslim Rohingya bukan kali ini saja. Tiap tahap sejarah perjalanan Muslim Rohingnya adalah duka dan tragedi. Sungguh keliru bila kali ini kita seakan kebakaran jenggot dan menganggap seolah-olah korban tewas kali ini lebih bernilai dibanding korban tewas beberapa tahun sebelumnya atau mungkin puluhan tahun silam.

Meskipun memang harus diakui bahwa tragedi kali ini memiliki peningkatan kualitas, karena diawali oleh serangan kelompok kombatan dari unsur ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) terhadap 24 pos militer Myanmar, yang menewaskan 32 polisi pada periode 25 s.d 27 Agustus 2017.

Ada beberapa catatan menarik tentang 24 kali serangan itu, yang terjadi hanya dalam tempo tiga hari (25, 26, 27 Agustus 2017):

Pertama, tidak ada penjelasan dari sumber ketiga untuk mengkonfirmasi kebenaran dan akurasi terkait jumlah pos yang diserang, misalnya, apakah semua pos yang diserang kategorinya sama (pos besar, pos sedang atau pos kecil) atau rentang jarak antara satu pos dengan pos-pos lainnya.

Kedua, saya mencoba mencermati pemberitaan: terjadi penyerangan terhadap 24 pos militet, tapi yang diberitakan tewas adalah 32 polisi. Pertanyaannya, itu pos militer atau pos polisi? Kecuali kalau pos-pos militer ditunggui oleh polisi.

Ketiga, perbandingan antara jumlah pos yang diserang (24 pos) dan jumlah korban tewas sebanyak 32 polisi, cenderung bisa dipastikan bahwa ke-24 pos itu adalah kategori pos kecil, yang mungkin hanya ditunggui 1 atau 2 personil.

Keempat, ada kemungkinan penyerangan itu terjadi karena kemampuan tempur anggota ARSA telah mengalami peningkatan, secara taktis ataupun persenjataan. Kemungkinan ini cukup logis jika dikaitkan dengan imbauan yang pernah disampaikan oleh Ayman Al Zhawahiry, pimpinan Al-Qaeda, agar umat Islam membantu Muslim Rohingya dalam melawan kezaliman rezim pemerintah militer Myanmar.

Kelima, ada kemungkinan lain, pihak ARSA sengaja mendesain serangan yang bisa memicu reaksi keras militer Myanmar (dan itulah yang terjadi), dengan tujuan agar kasus itu menarik perhatian publik internasional, termasuk dari negara-negara anggota ASEAN (dan juga sudah terjadi). ARSA ingin agar kasus Rohingya tak terlupakan.

Keenam, sebaliknya dari point kelima, juga dimungkinkan bahwa justru militer Myanmar yang sengaja membuka peluang bagi ARSA untuk bisa melancarkan serangan, agar militer Myanmar memiliki alasan pembenar untuk melakukan serangan balik yang lebih keras dengan jelajah operasi yang lebih luas.

Ketujuh, model perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya, persis sama dengan model perlakuan pemerintah Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza: menutup akses bantuan kemanusiaan, dan tidak memberikan akses bagi media untuk meliput kondisi faktual di wilayah Negara Bagian Rakhine, di bagian barat daya dan barat Myanmar.

Kedelapan, kalau mencermati pemberitaan media-media asing, salah satu media yang paling aktif memberitakan secara realtime tentang perkembangan Rohingya selama sekitar 6 bulan terakhir adalah stasiun televisi satelit Aljazeera. Sementara media nasional Indonesia hampir semuanya hanya mengutip pemberitaan media asing.

Kesembilan, meskipun jaringan internet di wilayah-wilayah domisili Muslim Rohingya cukup jelek bahkan blank, namun Aljazeera tampaknya memiliki jaringan narasumber di kalangan warga Rohingya, yang secara rutin mengirim rekaman video ataupun teks tentang perkembangan di Rakhine.

Sebagai contoh, ketika sekitar 2 juta umat Islam wukuf di Arafah pada 30 Agustus 2017, dan ratusan juta umat Islam lainnya merayakan Idul Adha pada 31 Agustus 2017, Aljazeera menjadi media global yang memberitakan serangan militer Myanmar terhadap kampung-kampung Rohingya, dengan video dan foto yang memperlihatkan mayat-mayat bergelimpangan di tanah, di sungai dan kampung-kampung yang terbakar. Dan tentu kita sulit memastikan apakah pemberitaan Aljazeera obyektif atau tidak, sebab publik global memang tidak memiliki sumber pembanding.

Kesepuluh, ada satu hal yang perlu menjadi perhatian utama oleh negara-negara anggota ASEAN terkait kekerasan di Rakhine, yaitu peringatan yang disampaikan Ketua Rakhine Commisssion, Kofi Annan (mantan Sekjen PBB), yang mengatakan bahwa masyarakat internasional harus mewaspadai kemungkinan terjadinya proses radikalisasi di kalangan Muslim Rohingya, yang semakin putus asa akibat sikap apatis berbagai negara terhadap nasib mereka.

Dan menurut saya, kemungkinan terburuk dari peringatan Kofi Annan adalah wilayah Rakhine berpotensi menjadi atau dijadikan medan jihad baru oleh kelompok-kelompok radikal di seluruh dunia. Dan indikasi ke arah tersebut sudah mulai muncul di berbagai media sosial.

Syarifuddin Abdullah | 06 September 2017 / 15 Dzul-hijjah 1438.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun