Ada sebuah survei yang menyimpulkan begini: Bali adalah salah satu kota provinsi dengan tingkat kasus pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) paling rendah secara nasional. Dan kalau pun terjadi pencurian, sebagian besar pelakunya adalah pendatang, bukan orang Bali asli.
Terkait itu, saya pernah melakukan wawancara dengan sejumlah orang Bali, baik di Bali ataupun di luar Bali. Saya sangat tertarik, karena jawabannya ternyata bukan karena orang Bali sangat sejahtera. Rendahnya angka Curanmor itu lebih berkaitan dengan keyakinan atau budaya: orang Bali sangat percaya pada hukum karma: jika seseorang mencuri, maka lambat atau cepat, dia akan kecurian juga. Manisfestasi hukum karma. Meskipun sambil bercanda sebagian nara sumber menambahkan: bukan berarti yang kecurian pasti pernah mencuri.
Sadar atau tanpa sadar, dalam kehidupan sehari-hari, kita sebenarnya sudah lama akrab dengan ungkapan-ungkapan, yang semakna atau mengandung pengakuan atas hukum karma. Misalnya, "Jika ingin dihormati, belajarlah untuk mengormati". "Bahwa semua orang akan meraih sesuai dengan pemberiannya (getting what you give)".
Dalam percakapan canda keseharian, khususnya dalam siatuasi mengolok-olok, kita juga akrab mendengar ungkapan "Sesuai dengan amal perbuatan", yang biasanya disampaikan kepada orang yang sedang mengalami nasib agak-agak sial.
Dan kalau giliran ada yang meraih keberuntungan, misalnya mendapatkan perlakuan baik atau rejeki tak terduga, maka penerima perlakuan baik dan rejeki yang tak terduga itu, atau teman-temannya biasanya akan berkomentar begini: "rejeki anak shaleh".
Dalam tradisi Melayu Nusantara, barangkali semua suku di Indonesia mengenal dan menggunakan istilah: kualat. Meskipun kita sulit menemukan defenisi atau penjelasan yang memadai tentang makna kualat. Tetapi intinya, kualat adalah nasib sial yang menempel pada diri seseorang akibat perbuatan buruk tertentu.
Kalau ditarik ke dalam khazanah keIslaman, dalam Quran pun, ada satu ayat yang senada dengan konsep Karma, yaitu QS Al-Baqarah ayat 286 yang mengatakan, "...laha ma kasabat wa 'alaiha ma-ktasabat ( ), "Bahwa setiap jiwa (baca setiap orang) akan mendapatkan balasan setimpal atas perbuatan baiknya, dan juga ganjaran setimpal atas perbuatan buruknya".
Dan balasan setimpal itu tidak harus berbentuk apple-to-apple. Artinya balasan untuk perbuatan baik tidak harus sama persis dengan bentuk perbuatan baik tersebut. Begitu juga, ganjaran untuk perbuatan buruk tidak mesti sama persis dengan perbuatan buruknya. Jika menggunakan ilmu mantik: balasan yang tidak sama persis itu dapat disebut "balasan sejenis".
Boleh jadi, suatu kejahatan, katakanlah korupsi uang negara, akan dibalas dengan sakit-sakitan, atau setres, atau selalu dalam kondisi was-was, atau sering panik atau bahkan semakin mudah melakukan kejahatan yang sama, atau tidak bahagia, atau makin banyak harta rasanya kok semakin tidak cukup, dan akhirnya kemaruk.
Selain itu, balasan atas perbuatan baik atau buruk, juga tidak mesti bersifat segera atau instan. Balasan itu bisa tertunda selama periode tertentu. Tuhan dan alam tidak akan pernah melupakan amal baik dan perbuatan buruk setiap orang.
Persoalannya, kita memang tidak bisa membuat perhitungan eksak dan rinci tentang proses trade-off antara amal baik dan balasannya ataupun antara perbuatan buruk dengan ganjarannya.