Gembira menyambut suatu ibadah, dan lalu dengan senang hati serta tulus menjalankannya, merupakan salah satu indikator keberimanan. Tapi tidak selalu.
Gembira-senang-tulus menjalankan suatu ibadah, bisa juga diartikan ketika tiba waktunya, ibadah itu dijalankan tanpa beban dan juga tanpa harus berperilaku demonstratif.
Jika Anda seorang perokok, yang saban hari bisa kelimpungan jika tidak mengisap rokok dalam tempo dua-tiga jam, begitu Ramadhan tiba, Anda berhenti merokok di siang Ramadhan dengan tanpa beban: bangun sahur, menahan lapar dan haus, juga tidak merokok selama sekitar 14 jam, sungguh luar biasa, dan itu mengindikasikan tingkat keberimanan.
Ilustrasinya, ketika ayat Quran tentang khamar masih pada tahapan kedua: “jangan mendekati shalat ketika dalam keadaan mabuk”, banyak sahabat Nabi yang masih meminum khamar, di luar waktu menjelang shalat. Yang penting tidak mabuk ketika menunaikan shalat. Dan ketika akhirnya turun ayat yang melarang khamar secara total, banyak sahabat yang sedang menenggak botol khamar, dan begitu mendengar firman Allah tentang pelarangan total khamar, mereka menghentikannya ketika itu juga. Tanpa beban, semata melaksanakan perintahnya.
Beberapa riwayat menyebutkan, Umar bin Khattab sedang menenggak khamar, mulutnya sudah penuh cairan haram itu, namun belum sempat melewati tenggorokannya, dan ketika dia mendengarkan perintah pelarangan khamar secara total, Umar bin Khattab langsung memuntahkannya cairan khamar di mulutnya. Dan setelah itu, tak lagi menenggaknya walau hanya setetes. Semua itu dilakukan tanpa beban.
Karena itu, sekali lagi, salah satu indikator keberimanan seorang Muslim adalah melaksanakan perintah tanpa beban, dan perintah ibadah itu tak seharusnya mengganggu kegiatan dan aktivitas rutin dan reguler Anda.
Bila lembaga pemerintah atau Ormas atau bahkan sekelompok ulama telah memutuskan untuk mengawali puasa pada Sabtu, 27 Mei 2017, dan Anda ingin mengikutinya, maka orang-orang beriman akan mematuhinya tanpa beban, dan sesungguhnya tidak perlu menyambutnya secara seremonioal dan demonstratif.
Jangan berharap dan tidak perlu meminta diperlakukan istimewa hanya karena Anda sedang berpuasa. Dan seperti halnya ibadah-ibadah lainnya, berpuasa dan/atau tidak berpuasa lebih sebagai sebuah ritual keagamaan (atau semacam sebuah mekanisme) untuk membangun relasi spesial antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Karenanya, bila di jalan ketemu seorang Muslim sedang tidak berpuasa, jangan langsung menghakiminya. Barangkali saja dia sedang musafir (melakukan perjalanan yang memenuhi syarat), untuk mendapat keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa, atau mengidap penyakit tertentu, yang menurut dokter, untuk sementara waktu, sebaiknya tidak berpuasa.
Tentu ritme kehidupan keseharian selama sebulan Ramadhan akan sedikit berubah: qiyamullail, bangun sahur, tidak makan-minum di tempat kerja, bau mulut mungkin akan beraroma apek, lalu ritual berbuka puasa. Tapi semua perubahan ritme kehidupan keseharian, yang terlalu sedikit dan tidak terlalu signifikan itu, tak mesti mempengaruhi ritme kegiatan reguler Anda yang sudah berlangsung di luar Ramadhan.
Sebab tidak ada perintah agama, misalnya, yang mewajibkan seorang Muslim harus berbuka puasa di rumah. Maka kalau pulang kerja, dan jalanan macet, bersikap biasa sajalah. Bila masih di jalan dan waktu berbuka tiba, cukup dengan air putih untuk membatalkan puasa. Dan kalau mau, Anda bisa menyediakan penganan kecil di kendaraan untuk persiapan berbuka, sebagai antisipasi terjebak dalam kemacetan di waktu berbuka. Intinya, biasa sajalah! Dan tidak perlu terlalu demonstratif bahwa Anda-saya-dia-mereka sedang berpuasa.