Selama sepekan terakhir, Riyadh ibukota Saudi Arabia menjadi fokus perhatian global, karena dua alasan: pertama, Riyadh dan Saudi Arabia merupakan kota dan negara pertama yang dikunjungi oleh Presiden Amerika Donald Trump dalam lawatan luar negerinya, sejak berkuasa di Gedung Putih. Dan kedua, karena Riyadh menjadi tuan rumah sebuah summit (KTT), yang menghadirkan delegasi dari 56 negara Muslim, yang diselenggarakan pada Ahad, 21 Mei 2017.
Dari segi tema, sejak awal sudah diketahui bahwa tujuan Riyadh Summit adalah membentuk sebuah komitmen bersama: memerangi terorisme. Namun seperti diketahui, dalam kebijakan regional Saudi Arabia, Iran adalah ancaman yang biasa disebut “kekuatan jahat” yang selalu diposisikan mengancam Saudi. Karena itu, muncul argumen bahwa Riyadh Summit juga merupakan agenda mengisolasi Iran. Dan agenda ini klop dengan kecenderungan politik luar negeri Donald Trump.
Riyadh Summit yang berlangsung maraton sehari penuh pada 21 Mei 2017, sebenarnya dibagi dalam tiga sesi yang terpisah: sesi pertama adalah pertemuan KTT Saudi-Amerika yang bersifat bilateral; kedua pertemuan antara GCC-US Summit (GCC adalah lembaga regional yang beranggotakan 6 negara Teluk: Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi, UAE); dan ketiga pertemuan puncak yang melibatkan 46 negara Muslim, termasuk Indonesia, yang disebut Arab Islamic – US Summit.
Yang menarik, ketika memasuki sesi ketiga (Arab Islamic – US Summit), Presiden Indonesia Joko Widodo tampil pemberi sambutan ke-5 (setelah Raja Salman, Donald Trump, Raja Abdullah dri Jordania dan Presiden Mesir Abdul Fattah Al-Sisi).
Dan terlepas apakah Anda setuju atau tidak, berikut beberapa kutipan pidato yang menarik dan tegas tentang memerangi terorisme dan menghadapi Iran.
Raja Salman: “Dunia menyaksikan berbagai aksi teror justru sejak Revolusi Iran, 1979”.
Donald Trump: “Amerika tidak ingin mendikte setiap negara, dan Amerika tidak bisa mewakili keinginan setiap negara, tapi Amerika ingin setiap negara berinisiatif sendiri untuk menentukan yang terbaik bagi masa depannya; bahwa 95 persen korban aksi teror adalah umat Islam”.
Presiden Mesir, Abdul Fattah Al-Sisi mengatakan: “Memerangi terorisme harus dilakukan secara komprehensif tanpa membeda-bedakan kelompok (isyarat kepada Ikhwanul Muslimin); menghentikan semua sumber suplai senjata, sumber pendanaan, dukungan ideologi dan tempat perlindungan”.
Presiden Jokowi: “Memang memerangi terorisme perlu kekuatan (militer), tapi terorisme juga merupakan persoalan pemikiran dan ideologi. Perlu perimbangan antara solusi kekuatan militer dan solusi ideologis/pemikiran dalam memerangi terorisme”.
Namun betapapun pentingnya dan glamournya pertemuan sekelas Riyadh Summit yang melibatkan sekitar 56 negara, namun ada beberapa kritis yang perlu dicermati:
Pertama, bahwa kemampuan Saudi mengumpulkan sampai 56 negara untuk berbicara tentang agenda strategis bagi Saudi, harus diakui sebagai indikator posisi dan pengaruh Saudi.