Jika kecewa dan bersedih akibat kekalahan itu normal. Justru malah aneh bila kekalahan dirayakan sukaria. Bahwa Pilgub DKI 2017 berdarah-darah dengan berbagai isu SARA, tidak ada yang menyangkalnya.
Tapi mengatakan bahwa rakyat DKI telah mengalami luka keterpecahan yang dalam, dan butuh waktu lama untuk memulihkannya, saya kok tidak terlalu percaya. Sebab kesimpulan seperti ini justru bertentangan dengan klaim yang menyebutkan, pemilih DKI adalah pemilih paling rasional. Jika sungguh rasional, maka kekalahan dan kemenangan itu seharusnya diposisikan secara rasional juga. Bukan emosional.
Bahwa kubu PDIP, Megawati Soekarnoputri atau bahkan Presiden Jokowi kecewa dengan hasil kemenangan Anies-Sandi, ya wajar sajalah. Sekali lagi, mosok kalah dirayakan bersuka ria. Tapi jangan disimpulkan bahwa seolah-olah kekalahan Ahok di Pilgub DKI 2017 adalah kekalahan pertama bagi PDIP. Seakan-akan terjungkalnya Ahok dari panggung Pilgub DKI adalah keterjungkalan pertama yang dialami oleh Megawati Soekarnoputri.
Megawati Soekarnoputri bukan ibu yang cengeng. PDIP bukan partai kemarin sore. Politisi dan fungsionaris PDIP bukan politisi yang baru bersentuhan kekalahan. Kekalahan Ahok di Pilgub DKI, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan berkali-kali jatuh bangun yang telah dijalani PDIP.
Kalau nggak percaya – sekedar kilas balik – coba putar ulang rekaman video yang menayangkan penampilan ibu Megawati ketika Sidang Umum MPR tahun 1999, yang melalui rekayasa Poros Tengah, akhirnya Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden RI. Padahal PDIP adalah pemenang Pemilu 1999. Dan PDIP juga ibu Megawati baik-baik saja, malah mungkin tambah tegar.
Terus, saya tidak terlalu percaya bahwa isu SARA dalam Pilgub DKI (baca: dugaan kasus penistaan agama oleh Ahok) akan memerlukan waktu lama untuk dipulihkan. Sebab kalau mau jujur, setiap kali terjadi Pemilu, baik pada level nasional ataupun di tingkat daerah provinsi-kabupaten-kota, isu agama itu selalu muncul. Tentu dengan intensitas yang berbeda-beda.
Lagian, sekali lagi, pemilih DKI adalah pemilih rasional. Dan menyimpulkan bahwa isu SARA telah mengabadikan poloarisasi sosial warga DKI secara tajam, justru meremehkan dan menghina rasionalitas warga DKI. Selama periode kampanye, tentu iya telah terjadi polarisasi yang tajam. Tapi setelah hasil diumumkan, “pemenang ditetapkan”, percaya deh, warga DKI akan menyikapinya secara rasional, dan akan kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Saya justru menduga bahwa kelompok yang membesar-besarkan efek isu SARA dan efek kekalahan Ahok di Pilgub DKI adalah para “pendukung kagetan” Ahok dan PDIP. Mereka yang baru kali mengalami pahitnya kekalahan Pemilu. Bukan pendukung setia yang fanatik. Sebab sekali lagi, para pendukung setia PDIP itu tahan banting, Bung. Mereka tidak cengeng. Saat menang akan bersuka ria sewajarnya, jika kalah ya kecewa dan bersedih sewajarnya juga.
Dan saya sangat yakin bahwa rakyat Indonesia pada umumnya, terutama warga DKI yang rasional itu, adalah warga yang enggan menggadaikan kehidupan berbangsa dan bernegara pada ritme lima tahunan. Sebab kalau mau jujur, silahkan dikoreksi jika saya keliru, sebagian besar warga sebenarnya tidak mememperoleh keuntungan langsung dalam jumlah besar dari setiap Pemilu, siapapun pemenangnya.
Syarifuddin Abdullah | Jumat, 24 April 2017 / 27 Rajab 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H