Coba bayangkandan posisikan diri Anda tiba-tiba dijadikan salah satu respondenoleh sebuah lembaga survei, yang mengajukan pertanyaan begini: bagusan danrasional mana jawaban Anies atau Ahok terkait masalah reklamasi Teluk Jakarta,dalam Debat Kandidat terakhir di Jakarta pada 12 April 2017.
Jika Andatidak punya data dan backround informasi tentang reklamasi, hampir pasti Andaakan menjawabnya sesuai dengan kecenderungan perasaan Anda terhadap Ahokdan/atau Anies.
Jika hatiAnda sudah cenderung berpihak ke Anies, Anda akan cenderung menjawab: jawabanAnies lebih rasional. Tapi jika Anda pendukung Ahok, jawabannya jelas akanmenjagokan Ahok. Artinya, jawaban Anda lebih mengacu pada perasaan Anda ketikamenjawab pertanyaan tersebut.
Dan pertanyaanserupa tentu akan diajukan ke beberapa responden lainnya, danmasing-masing responden juga akan menjawab dalam suasana batin persis sepertiAnda, ketika menjawab pertanyaan kuesioner. Jika Anda sudah senang Anies, akanmenjagokan Anies. Sebaliknya, kalau sudah fanatik Ahok, tetap akan menjagokanAhok.
Lantas, olehpetugas administrasi di lembaga survei akan mengolah jawaban Anda dan jawabanresponden-responden lainnya, lalu diklasifikasi dan dikelompokkan: menjagokanAhok sekian orang, yang menjagokan Anies sekian orang.Â
Hasilnya, jawabanAnda bersama jawaban responden-responden lainnya – yang nota disampaikanberdasarkan perasaan subyektif Anda ketika menjawab pertanyaan kuesionertersebut – ditampilkan di layar komputer atau papan peraga, lalu diposisikansebagai fakta atau basis data ilmiah. Maka keluarlah hasil survei yangmengatakan: Ahok mendapat suara sekian persen, dan Anies meraih suara sekianpersen.
Dan sangat dimungkinkanterjadi, para responden yang ditanya pada periode tertentu – kebetulan padamenjawab: Anies lebih baik, dan pada periode yang lain, sebagian besar respondenlebih menjagokan Ahok.
Karena itu, takperlu heran, kadang seorang kandidat unggul di papan peraga statitistik survei,tapi keok ketika perhitungan real count. Jangan heran juga bila sering terjadiperbedaan hasil survei antara satu lembaga dengan lembaga survei lainnya. Sebabbasis data setiap survei memang lebih mewakili perasaan subyektif responden.
Pesannya: janganseperti saya, yang senang pada hasil survei yang mengunggulkan kandidat jagoansaya, dan benci melihat hasil survei yang tidak mengunggulkan kandidat yangsaya dukung. He he he.
SyarifuddinAbdullah |Kamis, 13 April 2017 / 16 Rajab 1438H