Bahwa SBY datang ke Istana menemui Jokowi, Â Kamis, 09 Maret 2017, sungguh sebuah peristiwa politik secara par exellence. Terkait itu, ada beberapa catatan yang menarik disimak:
Pertama, sebenarnya tidak pernah tercatat ada rivalitas langsung antara SBY dan Jokowi. Makanya, asumsi rivalitas antara keduanya justru terpicu oleh berita media yang diperparah oleh komentar para netizen di Medsos dan blog.
Kedua, suka tidak suka, bahwa SBY yang "mendatangi" meski terkesan "mengalah", buat saya justru menunjukkan bahwa SBY menghitung sesuatu yang lebih penting. Saya salut.
Ketiga, kesan persiteruan antara Jokowi dan SBY, sejak SBY menyampaikan "Pidato Lebaran Kuda" pada 02 Nopember 2016, sebenarnya lebih karena jalur komunikasi yang tidak lancar. Sesuatu yang mestinya tidak terjadi antara Presiden dan mantan Presiden.
Keempat, sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan SBY sesungguhnya justru dengan ibu Megawati Soekarnoputri. Bukan dengan Jokowi. Dan semua tahu, Jokowi bisa dengan mulus menjadi RI-1 terutama karena faktor Mega (melalui PDIP). Karena itu, bahwa Jokowi akhirnya mau menerima SBY, itu mengindikasikan bahwa Jokowi telah memposisikan dirinya layaknya seorang Presiden Republik, bukan "Prediden PDIP".
Kelima, memang akan terkesan berbeda bila dibandingkan dengan kunjungan Jokowi ke Hambalang untuk menemui Prabowo (31 Oktober 2016), yang kemudian dibalas dengan kunjungan Prabowo ke Istana (17 Nov 2016). Sementara pada pertemuan 09 Maret 2017, SBY yang datang lebih dulu ke Istana. Tapi sudahlah, lupakan perbedaan ini!
Keenam, setiap peristiwa atau pertemuan politik, apalagi antara dua tokoh yang dipersepsikan bersiteru, konon tidak pernah hanya berisi agenda tunggal. Dari sini analisa kemudian bisa melebar kemana-nama. Karena pertemuan itu terjadi dalam konteks politik Pilkada DKI 19 April 2017, sebagian orang bisa saja menduga-duga: Partai Demokrat akan mendukung Paslon Ahok-Djarot. Atau misalnya pertemuan SBY-Jokowi justru berbarengan dengan sidang perdana kasus korupsi E-KTP. Bisa saja, kita tunggu dinamikanya.
Ketujuh, sesuai karakternya masing-masing, dalam pertemuan 09 Maret 2016, SBY tampil dengan gayanya, bahasa yang terkesan bombastis seperti ungkapan "ajang tabayyun". Sementara Jokowi tetap tampil dengan bahasa apa adanya seperti ungkapan "baru tersedia waktu".
Kedelapan, dalam ajaran Islam, jika terjadi cekcok antara dua orang Muslim, maka orang yang mengawali atau berinisiatif untuk memperbaiki cekcok itu, selalu diposisikan lebih agung dan dijanjikan mendapatkan pahala lebih tinggi, dibanding pihak yang hanya merespon. Minimal sang inisiator lebih dulu mendapatkan pahala besar. Amin.
Kesembilan, apapun itu, silaturahmi antara dua orang, apalagi antara dua tokoh bangsa, harus selalu dimaknai sebagai peristiwa positif. Bahwa pertemuan itu berisi lebih dari satu agenda, itu juga seharusnya diposisikan sebagai sesuatu yang normal saja.
Syarifuddin Abdullah | Kamis, 09 Maret 2017 / 11 Jumadil-akhir 1438H