Dari jendela kamar kulihat matahari pagi menyapa alam, gerak naiknya perlahan tapi pasti.
Paparan sinarnya semula tak terasa, lalu menghangat, kemudian agak menyengat, namun tetap terasa nikmat karena dipadu dengan suhu sejuk pegunungan.
Tak jauh dari titik berdiriku, terlihat bocah-bocah polos bermain di tanah lapang nan segar, sebagian berenang di kolam yang airnya dingin.
Nikmat alam sungguh adil, menyebar sejuk, dingin, dan panasnya tanpa pilih kasih. Memperlakukan semua, pendosa atau pensyukur, dengan cara yang sama.
Mataku lalu melihat sebuah bangunan yang letaknya hampir menyentuh puncak salah satu gunung yang terlihat dalam cakrawalaku. Aku membatin: seandainya dimungkinkan, pemiliknya pasti akan membangun villa persis di puncak gunung.
Keserakahan tak pernah berhenti menaklukkan alam, walau dengan itu, juga berarti membuka peluang petaka alam.
Tujuan hidup salah satunya adalah nyaman. Bila sudah nyaman hidup di dataran rendah, kenapa harus bergeser ke lereng gunung. Jika di lereng sudah bahagia, mengapa mesti menanjak ke puncak.
Sambil memejamkan mata, aku mentuluskan niat mengucap syukur: alhamdulillah.
Syarifuddin Abdullah | Ahad 15 Januari 2017 / 17 Rabiul-tsani 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H