Semua ideologi, yang genuine ideologi, mestinya dan seharusnya memang tertutup. Dalam pengertian, sebuah ideologi tidak bisa membuka diri untuk menerima penetrasi ideologi lain, apalagi mencampuradukkan prinsip-prinsip satu ideologi dengan prinsip ideologi lain. Tegasnya, setiap ideologi memiliki batas-batas tertentu yang tidak mungkin dikompromikan. Memang, kemudian muncul perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok Islam lainnya dalam menentukan batas-batas tertentu tersebut.
Sepanjang sejarah, ideologi-ideologi besar yang mampu bertahan adalah ideologi yang tertutup, yang selalu menjaga kemurnian dan prinsipnya.
Bahkan ideologi libaral yang sering diklaim sebagai ideologi terbuka, faktanya justru sebaliknya. Ideologi liberal sangat tertutup atau menutup diri agar tidak terkontaminasi oleh paham-paham ideologi lain, sosialis misalnya.
Demikian pula ideologi sosialis yang dalam kadar tertentu kadang bisa diidentikkan dengan komunis: menutup diri agar tidak terkontaminasi oleh penetrasi ide-ide dari luar.
Ada satu fakta modern yang sangat kasat mata tentang tertutupnya ideologi liberal dan sosialis di bidang ekonomi, yang dapat dilihat dalam pengalaman China. Awalnya China mencoba menciptakan “kombinasi ideal” antara paham sosialis dan liberal, atau kerakyatan dan otoritarian. Bertahun-tahun lamanya China berusaha dan akhirnya mengakui kegagalannya. Ketika gagal itulah, China menjadi negara pertama di dunia yang menginisiasi “pencampuran paksa” antara liberal dan sosialis melalui konsep: “one nation two system”. Konsep ini adalah pengakuan dan sekaligus penegasan bahwa setiap ideologi adalah mestinya tertutup dan tidak mungkin dicampur-campurkan. Dan keliru jika dikatakan bahwa konsep “one nation two system” adalah sebuah ideologi.
Dari fakta-fakta sejarah itulah, sehingga muncul semacam gugatan terhadap istilah “terbuka dan tertutup”. Tentu saja, perdebatan pemikirannya tak menemukan titik temu. Akhirnya, untuk menghindari misleading pada istilah “tertutup dan terbuka” itulah, muncul istilah inklusif (menggantikan terbuka) dan eksklusif (menggantikan tertutup).
Dan ideologi tertutup ini bukan sesuatu yang negatif. Wong karakter dasar setiap ideologi memang harus tertutup. Tapi dalam ketertutupan itu, selalu ada mekanisme atau prinsip untuk berinteraksi. Kemampuan atau kekenyalan berinteraksi itulah yang menentukan ketahanan dan keberlangsungan sebuah ideologi.
Dalam soal kekenyalan berinteraksi ini, ideologi Islam itu telah mampu bertahan lebih dari empat belas abad. Kemampuan bertahan bukan karena terbuka atau tertutup, tapi karena ideologi Islam memiliki – bolehlah disebut – kekenyalan berinteraksi. Ideologi Pancasila belum berusia satu abad, dan jelajah operasionalnya juga sangat terbatas. Jangankan mengglobal, meregional saja belum.
Dalam ayat-ayat Quran dan juga Sunnah Nabi banyak sekali teks yang mengharuskan tertutup dalam arti menjaga kemurnian aqaidah. Tapi pada saat yang sama, banyak juga yang memerintahkan untuk terus berinteraksi. Bahkan ada sebuah hadits yang menegaskan “bahwa kebenaran adalah dambaan setiap Mu’min, dari manapun dan di manapun, dia lebih berhak mengambilnya”.
Bahkan para santri di pondok-pondok, salah satu materi utama dan utama dalam pelajaran fikhi Islam adalah penegasan bahwa “agama itu adalah pergaulan (الدِّيْنُ الْمُعَامَلَةُ)”.
Makanya, saya tidak punya alasan untuk bersikap reaktif dan tidak kaget samasekali ketika dalam pidatonya pada HUT PDIP, 10 Januari 2017, Ibu Megawati menyampaikan bahwa ada kelompok nasional yang berideologi tertutup (transkrip cuplikan pidatonya terlampir).