Selain itu, untuk menghindari pelacakan, pelaku tidak atau jarang menggunakan alat-alat komunikasi modern (handphone, laptop dan gadget lainnya). Meskipun pelaku sempat berkomunikasi dengan seseorang yang diyakini sebagai pimpinan ISIS di Istanbul, dan seorang lainnya yang berasal dari Tajikistan (tidak ada penjelasan kapan komunikasi itu dilakukan).
Dan ada satu poin yang menarik tentang profesionalitas pelaku, yakni mampu berbicara dalam empat bahasa: Rusia, Kirgiztan, Uzbekistan, dan Arab. Wow. Boleh jadi memang antara Bahasa Rusia, Kirgiztan, Uzbekistan merupakan satu rumpun, sehingga gampang menguasainya. Dan belum ada penjelasan detail tentang level kemampuan bahasa Arab pelaku (besar kemungkinan hanya mahir untuk percakapan harian).
Keenam, Aparat keamanan menegaskan, dalam aksinya, pelaku bertindak sendiri (lonely wolve). Penegasan Apkam Turki ini seakan bertujuan membantah berita media-media lokal sebelumnya – yang mengacu pada keterangan seorang saksi di Tempat Kejadian Perkara (TKP) –bahwa pelaku penembakan berjumlah dua orang. Bahkan ada seorang saksi mengatakan, pelakunya berjumlah tiga orang.
Ketujuh, sejak Nopember 2016, pelaku bersama istri, telah bermukim di Konia, bagian tengah Turki. Ini juga menarik, sebab berarti pelaku baru masuk ke Istanbul menjelang tahun baru. Poin ini sebenarnya membantah asumsi bahwa pelaku adalah lonely wolve. Sebab untuk memilih dan menentukan sasaran saja diperlukan observasi beberapa hari. Artinya ada tim lain yang telah melakukan mapping detail tentang sasaran aksi (night club “Reina”).
Kedelapan, pada 03 Januari 2016, parlemen Turki tiba-tiba mengumumkan menyetujui perpanjangan periode pemberlakuan “Keadaan Darurat” selama tiga bulan berikutnya. Keadaan darurat ini sudah diberlakukan sejak Juli 2016 (Paska Kudeta gagal), yang berlaku efektif setiap tiga bulan, dan dapat diperpanjang. Artinya, keadaan darurat sudah dua kali diperpanjang. Dengan perpanjangan 3 bulan lagi, berarti keadaan darurat berlaku sampai April 2017. Kantor Perdana Menteri Turki mengatakan, bahwa selama Turki belum selesai membersihkan pendukung Abdullah Ochalan yang dituding sebagai dalang Kudeta gagal pada 15 Juli 2016 dan juga ancaman kelompok teror lainnya, maka Keadaan Darurat akan tetap diberlakukan di Turki.
Sebagian kelompok oposisi dan pengamat indenpenden menilai bahwa seolah serangan 1 Januari 2016 itu hanya untuk menjustifikasi perpanjangan periode “Keadaan Darurat”.
Syarifuddin Abdullah | Kamis, 05 Januari 2017 / 07 Rabiul Tsani 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H