Memasuki hari ke-42 Operasi Mosul (27 Nopember 2016), atau minggu ke-6, tercatat tiga peristiwa dan perkembangan yang layak dicermati terkait dinamika pertempuran dan politik di Irak, yaitu:
Pertama, pertempuran masih terus berlangsung di berbagai titik di sekitar kota Mosul, dan terutama di jalan-jalan kota Mosul, antara pasukan reguler Irak melawan kombatan Islamic State (IS). Sementara pasukan kombatan Syiah yang mengepung Kota Tal Afar, sekitar 60 km arah barat Kota Mosul, diputuskan tidak boleh masuk kota Tal Afar, karena dikhawatirkan akan melakukan pembantaian terhadap warga Sunni dan komunitas Yazidi. Sebagai gantinya, pemerintah akan mengirim pasukan reguler Irak plus milisi Sunni dengan kekuatan sekitar 3.000 personil.
Kedua, jumlah pengungsi Mosul yang menghuni kamp-kamp pengungsian di wilayah Irbil Kurdistan sudah melebih angka 70 orang, di tengah cuaca musim dingin, terutama di malam hari, kadang sudah di bawah nol derajat celcius, sementara kampa pengungsian tanpa fasilitas memadai, tanpa ada pemanas air.
Ketiga, pada Sabtu 26 Nopember 2016, Parlemen Irak mengesahkan UU Milisi Syiah (Popular Mobilization Forces Act = PMF Act) yang melegalkan milisi Syiah sebagai bagian dari pasukan reguler Irak. Pengesahan UU ini jadi menarik karena dilakukan dalam sidang parlemen yang diboikot oleh anggota parlemen dari kelompok Sunni.
Catatan:
Pertema, rencana awal akan menuntaskan Operasi Mosul hanya dalam beberapa minggu ternyata meleset jauh. Sebab sejauh ini, tidak ada indikasi bahwa pertempuran akan dimenangkan oleh salah satu pihak, dalam waktu dekat. Taktik tempur kombatan IS adalah menghemat energi dan peluru untuk dapat bertahan selama mungkin, dengan tujuan membuat personil pasukan reguler Irak merasa frustasi, sehingga mudah melakukan kesalahan-kesalahan taktis di medan tempur.
Kedua, pengungsi di tengah dan menjelang puncak musim dingin pada Desember-Januari, tanpa fasilitas memadai di kamp-kamp pengungsiaan, berpotensi menciptakan tragedi kemanusiaan.
Ketiga, dengan pengesahan PMF Act oleh Parlemen Irak, secara de facto, milisi Syiah telah menjadi kekuatan yang diakui dan akan didanai oleh negara Irak (sebelumnya disinyalir didanai oleh Iran), dan dengan begitu, posisinya kurang lebih sama atau bahkan lebih kuat dibanding Hizbullah di Lebanon. Artinya, gerak dan jelajah operasi PMF di seluruh wilayah Irak tak bisa lagi dibatasi. Artinya, PMF Act semakin mempertajam polarisasi Syiah-Sunni di Irak. Dan bagi negara-negara tetangga Irak – terutama Saudi Arabia – PMF Act akan diposisikan sebagai salah satu perkembangan dinamika politik paling penting di Timur Tengah sejak tahun 2000-an.
Syarifuddin Abdullah | Senin, 28 Nopember 2016 / 28 Safar 1438H
Sumber tulisan: Aljazeera dan Al-Hayat.