Dari waktu ke waktu, nyaris tanpa henti, kita akhirnya seolah pura-pura kaget dengan kasus-kasus penipuan, yang kalau dicermati, substansinya tak pernah bergeser: mengimingi-imingi korban dengan keuntungan berlipat-lipat dalam tempo singkat dan instan. Modusnya memang bervariasi: penggandaan duit ala tukang sulap seperti kasus Dimas Kanjeng, ataupun bisnis dengan margin laba yang berganda-ganda. Dan korbannya selalu berasal dari latar belakang bervariasi: komunitas awam, beberapa akademisi, pedagang, dan pegawai.
Pertanyaannya: apa yang salah dalam kasus Dimas Kanjeng? Apa yang salah pada sebagian warga bangsa ini, yang memungkinkan munculnya seorang penipu sekelas Kanjeng Dimas?
Kalau kasus Dimas Kanjeng itu dicermati sebagai satu-dua-tiga kasus, sebenarnya tidak ada yang salah. Artinya, sebagai orang beragama, kapan pun dan di manapun, Tuhan berhak mutlak menganugerahkan keistimewaan kepada orang tertentu, selama periode waktu yang umumnya sangat singkat. Dan keistimewaan itu umumnya tidak berlaku konstan, makanya disebut pengecualiaan.
Ketika “pengecualian” itu diperlakukan sebagai sesuatu yang lazim dan jamak, ini yang saya maksud keliru atau gagal memahami kerangka berpikir. Dan umumnya kegagalan memahami kerangka berpikir, akan berakibat pada gagal merumuskan kerangka bertindak dan berperilaku.
Bisakah seseorang menggandakan uang pecahan Rp50.000 menjadi Rp100.000? Untuk satu–dua–tiga kasus, dimungkinkan saja. Tapi itu adalah pengecualian. Yang tidak benar ketika pengecualian itu diposisikan sebagai sesuatu yang lazim dan berlaku konstan selama periode waktu yang lama.
Mukjizat fisik para Rasul saja, tidak ada yang berlaku konstan, dan tidak terjadi setiap hari. Dia hanya muncul sekali-sekali. Bukan terus-terusan.
Lantas bagaimana dengan seorang Marwah Daud Ibrahim, seorang lulusan Ph.D bidang komunikasi, yang mungkin sudah melakukan ratusan penelitian empirik di kampus dan lembaga riset, kok, bisa-bisanya ikut tenggelam dalam lautan gagal memahami kerangka berpikir itu. Semua item penjelasan Marwah bisa diterima, kelirunya cuma satu: penjelasannya tidak mengacu pada kerangka berpikir. Dan mohon maaf, I have to say, Tuhan juga tampaknya ingin membuktikan bahwa seorang yang paling rasional sekalipun, bisa berperilaku sangat klenis-mistis alias gagal paham kerangka berpikir. Mungkin untuk dijadikan bahan pelajaran.
Dalam kehidupan politik dan pengelolaan negara, kita juga sering menemukan perilaku politik yang tidak menunjukkan pemahaman ajek tentang kerangka berpikir. Misal, beberapa orang tiba-tiba memposisikan diri sebagai tokoh yang layak dipilih pada sebuah Pilkada, padahal belum memiliki investasi politik. Logika loncatan seperti inilah yang sering membuat kita juga ikut-ikutan gagal paham.
Ketika mengutarakan argumentasi kerangka berpikir di atas, seorang teman mendebat saya. Dan saya balik bertanya kepadanya: tunjukkan kepada saya teori kekuasaan mana yang bisa menjelaskan rasionalitas seorang Kim Jong Un sehingga bisa mewarisi rezim kekuasaan di Korea Utara, di usia sekitar 20-an tahun! Semua pasti menjawab: karena ayahnya, Kim Jung Il mewarisinya kekuasaan. Tapi kan ada kakaknya, kan ada pamannya? Bantah membantah ini mengindikasikan, untuk kasus “pengalihan kekuasaan” kepada Kim Jong Un, adalah sebuah pengecualian. Sebab semua argumentasi rasionalnya terbantahkan dengan dalil yang lebih rasional.
Intinya, gairah meraih kesejahteraan dan kekuasaan melalui mekanisme sim salabim itu dimungkinkan saja, tapi sekali lagi harus diposisikan sebagai kasus pengecualian, mungkin berlaku untuk satu-dua-tiga kasus. Dan ketika pengecualian itu diperlakukan sebagai sebuah kelaziman, hasilnya jelas: jumlah orang tertipu selalu lebih banyak daripada jumlah penipunya.
Syarifuddin Abdullah | 05 Oktober 2016 / 04 Muharram 1438H