Radio kuno itu kuputar Lagi. Suaranya masih nyaring, meski sesekali terdengar bunyi retak-retak. Dan pasti tak semembahana satu set home theater. Kuperhatikan jasadnya. Warna krem gelapnya, di bebarapa bagian sudah memudar, sebagian memutih. Tapi tak satupun bagian intinya yang copot. Masih utuh, termasuk antenanya.
Kira-kira ia sebaya denganku. Tapi dari segi fungsi dan feature-nya, kuamati, radio klasik itu terlihat lebih renta bila disandingkan dengan radio-radio modern, dibanding aku jika disandingkan dengan generasi sebayaku. He he he. Bercanda, coy, aku sudah tua sepertimu.
Aku meletakkannya di atas meja, kupandangi. Setelah diisi baterai baru, kucoba menyetelnya, memutar alat yang besarnya tampak seperti yo-yo, ke kanan dan ke kiri mencari gelombang yang pas. Terasa agak berat, kayaknya karena pake senar, bukan digital. Tiba-tiba, secara kebetulan, suara merdu melantunkan lagu “Aku masih seperti yang dulu”.
Di kampung dulu, ketika televisi belum ada, radio tua itu adalah sumber informasi dan sebagian orang kampung menyebutnya ciri intelektual (maaf kami belum mengenal istilah intelektual, tapi menggunakan kata berpendidikan). Punya radio, yang sering diputar dan didengarkan, dianggap sebagai ciri orang berpikiran maju. Mungkin karena pemilik dan/atau pendengarnya ingin tahu perkembangan di luar kampung yang dinamikanya monoton.
Masih segar dalam ingatanku, di malam hari yang gelap – karena belum ada listrik, dan setelah rumah tetangga yang punya lampu petromax kehabisan minyak tanahnya – para tetangga seolah bersaing menyetel suara radionya sekencang-kencangnya. Menyetel musik dangdut atau pop yang mendayu-dayu. Sesekali berita, atau drama radio. Semua siaran hanya ditangkap lewat gelombang SW (Short Wave). Hurup FM di bagian depan radio antik itu tak pernah digunakan.
Setiap awal jam, radio klasik itu akan mengumandangkan suara penyiar berita yang merdu, ngebass dan terdengar tebal – tak sama dengan penyiar-penyiar modern yang rata-rata suaranya runcing tipis – dengan kalimat awal: “Inilah Radio Republik Indoneisa, Nusantara Empat Ujung Pandang”.
Saya masih mengalami periode zaman ketika belum ada video. Suatu ketika, kami sedang rame-rame mendengarkan lagu dangdut Rhoma Irama di rumah seorang teman yang satu langkah lebih maju: punya radio dan tape pemutar kaset lagu. Lantas seorang teman yang baru tiba dari merantau di Kalimantan bercerita, “sekarang sudah ada kaset, yang memungkinkan kita bisa melihat gambar orang yang sedang bernyanyi”. Kami-kami yang belum pernah keluar kampung spontan menyambut: “wwaaaaahh”. Saat itu, saya belum bisa membayangkan wujud kaset yang ada gambar penyanyinya itu. Karena kami masih akrab dengan kaset lagu biasa. Beberapa tahun kemudian baru ketahuan bahwa yang dimaksud adalah kaset video HVS, yang besar dan masih berpita itu.
Kampung kami terletak di pinggir sungai, yang sisi pantai sungainya berpasir. Anak-anak muda punya kebiasaan di malam hari, mencari ikan dengan menyisir bibir sisi sungai yang berpasir pada kedalaman setengah lutut, dengan menggunakan lampu petromax. Ikan-ikan tawar kecil mendekati sinar lampu petromax, dan kami menyabet ikan dengan parang atau pedang.
Untuk menggairahkan acara menebas ikan di sungai itu, pasti, ya pasti salah satu dari kami akan memanggul radio tua di pundaknya, sambil memutar lagu dangdut. Kayaknya ikan-ikan tersebut juga ikut menikmati suara dangdut dari radio antik.
Saya membayangkan kembali hidup di zaman itu, ketika belum ada telephone apalagi smart handphone. Ritme kehidupan hanya ditingkahi sebuah radio antik, tanpa pemutar kaset. Dan ritme kehidupan lainnya tampak berlangsung normal saja.
Sekarang ini, kalau giliran lupa membawa handphone dan baru ingat ketika sudah dalam perjalanan menuju tempat kerja, kita seolah-olah mengalami suasana kehilangan separuh jiwa. Kebanyakan manusia memang adalah hamba yang melayani pernik-pernik zamannya.