Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Dwelling Time di Pelabuhan, Indikator Gagal Paham terhadap Nawacita

17 September 2016   15:31 Diperbarui: 17 September 2016   17:05 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua kali Presiden Jokowi marah-marah di depan kamera televisi ketika meyinggung soal ritme pelayanan di pelabuhan. Yang pertama, pada 17 Juni 2015, ketika berkunjung ke pelabuhan Tanjung Priok, Presiden Jokowi marah-marah karena durasi dwelling time masih 5,6 hari. Catatan: Dwelling time adalah waktu tunggu peti kemas untuk melewati proses bungkar muat di pelabuhan.

Kedua, sekitar 15 bulan setelah kemarahan pertama, Jokowi kembali marah-marah dalam kasus yang sama. Saking jengkelnya, kali ini Presiden bahkan menegaskan, "Sudah saya perintahkan Kapolri, agar pelaku-pelaku pungli, tangkap! Enggak ada toleransi lagi", saat meresmikan Terminal Peti Kemas Kalibaru Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa pagi, 13 September 2016.

Pada hari yang sama, Kapolri bertindak cepat dengan membentuk Satgas untuk menyelidiki akar persoalan dwelling time.

Saya jadi bertanya, seorang Presiden yang marah-marah dua kali untuk kasus yang sama, dengan interval waktu sekitar 15 bulan, apakah ini persoalan kebudayaan atau masalah managemen atau soal hukum. Untuk sementara, saya memposisikannya lebih sebagai persoalan kebudayaan.

Sebab jika dikaitkan, persoalan dwelling time itu setidaknya berhubungan langsung dengan dua poin Nawacita, yaitu “(4) Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; dan point (6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional”. Karena pelabuhan adalah salah satu indikator utama daya saing di pasar internasional. Dan jika dwelling time dipicu faktor pungli, berarti penegakan hukum yang bebas korupsi belum berjalan maksimal.

Dalam kaitan ini, saya teringat sebuah ungkapan kearifan: “bila ingin mengetahui karakter sebuah komunitas, kunjungilah pasarnya atau terminalnya atau museumnya!” Namun saat ini, tampaknya perlu ditambahkan satu poin lagi: kunjungi juga pelabuhannya!

Di pasar, kita akan ketemu pedagang yang judes, yang menawarkan dagangan dengan berteriak bahwa semua barangnya bagus padahal tidak; penipu timbangan atau literan, pedagang kecil yang terlilit utang rentenir dan tentu pedagang jujur juga. Di pasar pula kita akan ketemu pembeli yang rewel menawar karena pelitnya, pembeli yang royal berbelanja. Di pasar akan beredar kabar tentang misalnya seorang gadis yang mungkin hamil di luar nikah, warga yang kelilit utang. Para preman pasar yang memposisikan diri sebagai penguasa lokal, yang memungut retribusi tanpa belas kasih.

Di terminal angkutan darat, kita akan bertemu manusia-manusia dengan karakter campuran, cenderung lintas etnis atau sub-etnis, para agen (aheng) yang menawarkan jasa angkutan dengan muka yang memelas – bila perlu meminta denga paksa – tip dari calon penumpang, para preman pengatur ship angkutan yang tidak resmi.

Di museum, kita akan bertemu sejarah komunitas, yang menunjukkan sejauh mana kecerdasan komunitas itu merawat masa lalunya. Museum di sini bisa berupa bangunan tua, warisan budaya dan kearifan-kearifan lokalnya, Dan lazimnya, komunitas yang cerdas merawat masa lalunya akan memperlakukan masa kininya dengan baik, dan cenderung memiliki pandangan ke masa depannya, betapapun terbatasnya.

Terus pelabuhan? Pelabuhan besar justru menggabungkan tiga variabel tersebut (pasar, terminal dan museum).

Pelabuhan sekelas Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar adalah titik tempat berkumpulnya semua unsur dalam sebuah komunitas: Perdagangan atau pergerakan barang berskala besar; Transaksi dalam jumlah jumbo; pekerja dari semua level, mulai yang berdasi sampai kelas keroco; implementasi teknologi; pelaku bisnis yang siap menyogok demi kalancaran bisnisnya, birokrat yang memanfaatkan para pelaku bisnis; dan tentu saja calo yang berlapis-lapis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun