Dan selama lima jam itu, berkali-kaliterlintas di pikiran saya untuk membatalkan puasa (ketika itu saya bisa saja menggunakan alasan musafir), namun saya urung membatalkannya.
Dalam suasana kehausan ekstrem itulah, saya coba merenung dan membayangkan umat Islam generasi awal – Nabi dan para sahabatnya dan beberapa generasi umat Islam setelah itu, yang berdomisili di Makah dan sekitarnya – bagaimana beratnya mereka melaksanakan puasa saat itu, di tengah padang sahara yang belum ada bangunan tinggi yang bisa berfungsi pelindung sengatan matahari, boro-boro AC.
Ilustrasinya: jika anda pernah jogging 5 (lima) kilometer non-stop dan tak pernah minum selama jogging, Anda akan merasakan tenggorokan kering dan dahaga ekstrem setelah selesai jogging. Tapi itu tak direken bila dibanding dahaga yang dirasakan saat berpuasa di Makkah. Dahaganya lebih ekstrem dari itu. Minimal itulah pengalaman pribadi saya.
Yang unik, ketika berpuasa di Makkah nyaris tak merasa lapar. Tapi hausnya itu yang terlalu Memang ada riwayat (tapi dianggap tidak shahih oleh sebagaian muhaddits) bahwa suhu panasnya Makkah adalah semacam percikan panasnya bara api neraka (neraka seolah-olah pernah bocor, dan percikannya bisa dirasakan di Makkah).
Jangan heran pula, ketika azan subuh di Masjid Haram sudah sampai pada kalimat hayya ala-l-falah (حي علي الفلاح) atau bahkan kalimat azan yang terakhir: la ilaha illallah (لا إله إلا الله), masih terlihat banyak orang yang berupaya menenggak tegukan air zamzam terakhirnya di sudut-sudut Masjid Haram. Mereka berasumsi sebagai langkah mengantisipasi dahaga ekstrem di siang hari bolong di Makkah. Tapi langkah antisipasi itu tidak banyak menolong.
Maka bersyukurlah, sebab berpuasa di Indonesia relatif nyaman. Selama tidak melakukan kegiatan ekstrem, Anda tidak akan merasakan dahaga yang ekstrem. Maka, sekali lagi, kalau ingin merasakan beratnya dahaga ketika berpuasa Ramadhan, pergi dan berpuasalah di Makkah, walau hanya sehari saja.
Ramadhan karim, ya Rabb.
SyarifuddinAbdullah | Kamis, 09 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H