[caption caption="File pribadi"][/caption]“Dari Jakarta ke kampung” yang terletak di ujung barat bagian selatan Pulau Jawa itu, karena jalanannya rusak parah, waktu tempuhnya persis seperti yang pernah diceritakan si Abah ke saya: “sekitar enam jam naik mobil”. Perjalanan melelahkan ini saya lakukan sendirian, karena ingin memastikan apakah si Abah benar sungguh berasal dari kampung itu.
Rencana awal untuk pergi-pulang pada hari yang sama ternyata tidak memungkinkan. Selain kelelahan, menurut feeling saya, rute perjalanan agak rawan bahkan cenderung tidak aman. Soalnya, jarak antar satu kampung dengan kampung berikutnya bisa berjauhan sekitar 1 s.d 3 km. Interval kendaraan yang melintas cukup lama.
Saya akhirnya memutuskan menginap di kampung itu. Hitung-hitung, saya akan punya waktu lebih banyak dan ngobrol dengan banyak orang untuk mencari tahu apakah benar si Abah berasal dari kampung itu.
Persoalannya, di kampung tidak ada penginapan. Menjelang matahari terbenam, saya mampir di sebuah langgar untuk shalat Magrib. Kepada orangtua yang mengimami shalat magrib, saya memperkenalkan diri dan mengajak mengobrol. Dengan mental siap kecewa, saya memberanikan diri meminta kepada imam masjid itu untuk diizinkan menginap di rumahnya. Pak Imam Masjid, meski awalnya ragu, tapi kemudian dengan ramah mengatakan, “baik, baik. Silahkan menginap di rumah saya, dengan kondisi apa adanya”.
Tiga hari sebelum berangkat ke kampung itu, saya mengajak Abah untuk foto selfi berdua. “Buat kenang-kenangan”, kata saya kepada Abah. Dan Abah hanya tersenyum.
Setelah dijamu makan malam dengan ikan asin dan telor ceplok, sambil merokok, saya mulai ngobrol santai dengan pak Imam masjid di beranda rumahnya yang sederhana. Hasil foto selfi tersebut kemudian saya tunjukkan kepada Pak Imam Masjid, yang berusia kira-kira sebaya dengan Abah.
Meski memberitahu bahwa namanya Danang Fillah, saya memanggilnya Pak Imam saja, maksud Imam Masjid.
“Pak Imam, kenal dengan orang yang difoto ini?” | “siapa yah?” |
Saya langsung menimpalinya, “Sekitar tiga bulan lalu, di sebuah apartemen di Jakarta, saya berkenalan dengan orang di foto itu, dan dia mengaku berasal dari kampung ini”.
Pak Imam masjid mendekatkan layar handphone ke matanya, mencermati gambar wajah orang di foto selfi itu, dan...... saya harus menutupi rasa kaget saya ketika Pak Imam mengatakan dengan nada suara polos, “Saya tidak mengenalnya”.
Untuk lebih memastikan, saya menjentikkan jari telunjuk di layar handphone untuk memperbesar tampilan muka Abah di foto itu, lalu menyodorkannya kembali ke Pak Imam, dan..... saya tambah kaget ketika ke Pak Imam pelan-pelan menggeleng-gelengkan kepala dan berucap, “Belum pernah bertemu dan tidak pernah tahu orang di foto itu”.