[caption caption="Ilustrasi lokasi gugus Pulau Ambo di Selat Makassar"][/caption]Pada akhir 2005, saya pernah melakukan riset di gugus kepulauan Ambo (kepulauan Balak-Balakan), yang terletak di Selat Makassar antara Mamuju dan Balikpapan.
Dari Jakarta ke Makassar naik pesawat, terus lanjut naik darat dari Makassar ke Mamuju selama 12 jam. Setiba di Mamuju, saya mendapatkan konfirmasi dari sejumlah warga di wilayah pelabuhan Mamuju bahwa tidak ada angkutan kapal reguler dari Mamuju ke Pulau Ambo. Gugus pulau Ambo ini terdiri dari 12 Pulau, dan hanya 10 pulau yang berpenghuni, dan secara administrasi masuk wilayah Sulawesi Barat.
Alternatif angkutan ke Pulau Ambo hanya dua: sewa/carter kapal atau menumpang kapal nelayan yang kebetulan mau ke Pulau Ambo.
Awalnya saya mau carter kapal. Tapi karena lumayan mahal untuk perjalanan sekitar dua mingguan, akhirnya saya memutuskan memilih menumpang kapal nelayan, dengan risiko harus menunggu, karena tidak setiap hari ada kapal nelayan yang berlayar ke Pulau Ambo.
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya ada kapal nelayan yang akan berangkat. Saya menemui dan memohon izin kepada nakhodanya untuk menumpang sampai ke Pulau Ambo. Sang nakhoda dan awaknya menyambut baik.
Dengan kapal motor nelayan berkapasitas 2 s/d 3 ton, dengan mesin yang bising, saya berlayar dari Mamuju ke Pulau Ambo, berjarak sekitar 68 mil laut, dan ditempuh sekitar 7 s/d 8 jam.
Setiba di Pulau Ambo, saya bertanya kepada nakhoda: berapa duit sewanya? Saya juga minta dihitung biaya untuk dua kali makan selama perjalanan di laut.
Sambil tersenyum, sang nakhoda menjawab: “tidak usah, nak”.
Saya berusaha meyakinkannya bahwa uang ini jangan diposisikan sebagai uang sewa, tapi semata sebagai ucapan terima kasih atas tumpangan kapalnya. Sang nakhoda bersikeras tidak mau menerima.
Saya tidak kehabisan akal, saya menghubungi dua orang awak kapalnya, siapa tahu salah satu dari mereka berdua mau menerima uang sewa. Tapi dua awak kapal itu justru menolak lebih keras dibanding sang nakoda.
Bukan hanya itu, sang Nakhoda kemudian bertanya ke saya: bapak mau menginap di mana? | saya menjawab “belum tahu”. Dengan senang hati, sang nakhoda menawari saya menginap di rumahnya selama dua mingguan.