Karena itu, ketika merumuskan paket janji semasa kampanye, mestinya bukan hanya mengacu pada idealisme semata, tapi janji-janji itu harus realistis: kalau ada sembilan program janji (Nawa Cita), berarti harus memiliki rencana aksi yang relatif utuh untuk merealisasikan paling kurang tiga dari sembilan program unggulan itu, dalam waktu yang relatif bisa diukur.
Tiga program unggulan itulah yang dimaksimalkan. Sehingga kalau pun “gagal” di enam program/janji lainnya, sang pemimpin bisa mengatakan: kan sudah bagus di tiga program, enam program sisanya masih dalam proses. Dengan jawaban begitu, publik bisa memahami.
Tapi kalau ke sembilan program/janji mandek semuanya, dan/atau tidak terasa di mata publik, jangan salahkan bila publik menilai: “Anda adalah pemimpin yang gagal”.
(3)
Belakangan, setiap kali memperhatikan mimik dan gesture Jokowi di layar televisi selama satu tahun pertama ini, saya sering punya kesan begini: orang ini tidak memiliki karakter untuk menjadi seorang pemimpin sekelas Presiden untuk sebuah negara sebesar Indonesia.
“Wong Ndeso, yang kerempeng itu” (ini ungkapan Jokowi sendiri), gaya jalannya saja sering mengirim pesan tidak pede; senyumnya tidak mengirim pesan ketegasan; pernyataan publiknya sering tidak terstruktur, makanya, sering dituding tidak konsisten. Tapi saya suka jidatnya yang bergaris-ombak, kata para ahli gesture, itu alamat seorang pemikir serius dengan persoalan yang sedang dihadapinya.
Namun giliran melakukan blusukan, Jokowi muncul sebagai seorang yang genuine. Karakter wong ndesonya benar-benar telanjang dan ingin menyelami persoalan anak bangsa. Dan secara pribadi, saya tidak melihat upaya Jokowi untuk memberikan kesan pencitraan setiap kali melakukan blusukan (mungkin saya salah).
Tapi buat saya, seandainya pun kegiatan blusukan itu dilakukan untuk pencitraan, lantas di mana salahnya?
(4)
Karena kita hidup di era kapitalisme, maka salah satu indikator utama kesuksesan seorang kepala negara akan mengacu pada indikator ekonomi kapitalis. Itupun umumnya lebih banyak di bidang ekonomi moneter, yang notabene, tidak “terkait langsung” dengan ekonomi riil (tingkat pasar tradisional), tapi secara jangka panjang berpengaruh besar pada ekonomi riil.
Maka begitu nilai kurs Rembang Pati (Rp) menembus angka Rp14.000 per 1 USD, Jokowi otomatis diposisikan gagal. Tidak ada pilihan lain. Wong, tolok ukurnya memang mengacu pada ekonomi moneter. Dari sederet indikator moneter: inflasi, angka pertumbuhan, indeks pasar saham, yang paling langsung terasa dan mudah melihatnya adalah nilai tukar.