Malam itu, kita sama-sama berpeluh.
Melantunkan kata-kata yang teduh.
Sambil menghayati suara yang benar-benar utuh.
Supaya tak ada lusuh yang bersemayam didalam tubuh.
Kau ajak aku menari dengan tawa yang bergemuruh.
Kau depak segala sepi yang membunuh.
Hingga segala rasa kian terbubuh didalam sentuh.
Selayaknya bunga yang tumbuh didalam asuh.
Dalam keadaan yang saling mengayuh.
Tiba-tiba engkau suguhkan sebongkah kisruh yang mengguruh.
Padahal semua sedang baik-baik saja tanpa kisruh.
Apakah hanya keluh yang dapat engkau taruh.
Bukankah kita sama-sama bersedia untuk saling menempuh.
Lalu kenapa yang tersohor hanya lah sebuah jembatan yang rapuh.
Sesaat harap ku sedang menjulang tinggi dengan teguh didalam simpuh.
Kau yang berkata sepenuh lalu engkau pula yang mengundang runtuh.
Hhhh engkau benar-benar membuatku jatuh.
Hancur luluh didalam riuh yang menyayat-nyayat pembuluh.
Kau hadirkan riuh dipikiran, ricuh di perasaan dan Lumpuh di sekujur tubuh.
Dan akhirnya kita hanyalah sepasang tangan yang pernah saling merengkuh, tapi terlalu rapuh untuk bisa menahan layuh.
Berawal dengan sungguh, Berakhir dengan acuh.
Berawal dari saling butuh, Berakhir dengan saling membunuh.
Febri Trifanda
Timpeh, Dharmasraya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H