[caption caption="Aku tengah mengintip matahari dengan teleskop lubang jarum (documen pribadi)"][/caption]
Aku terbangun jam empat pagi bersiap-siap pergi menonton gerhana matahari parsial 9 Maret 2016 di kota Bandung. Terdengar suara kang Emil sedang menyampaikan khotbah di Mesjid Agung Bandung. Rumah kami memang dekat dengan Mesjid Agung sehingga khotbah melalui pengeras suara itu bisa terdengar. Rupanya kang Emil, walikota Bandung menjadi Chatib subuh itu. Setelah itu, terdengar suara takbir, memuji kebesaran Ilahi oleh jemaat yang melaksanakan shalat gerhana.
Aku dan keponakanku berangkat dari rumah pukul 06:30. Padahal gerhana sudah mulai pukul 06:20. Sudah terlambat sepuluh menit. Dengan tergesa-gesa kami membawa "persenjataan lengkap", tiga kacamata gerhana, satu filter las listrik, pinhole telescope, tripod, dan kamera seadanya. Aku menyebutnya kamera seadanya, karena sebetulnya yang kuinginkan adalah kamera SLR dilengkapi dengan lensa tele.
Tibalah aku dan keponakan di halaman Mesjid Agung Bandung seperti yang direncanakan. Kami menilai tempat ini paling strategis untuk menyaksikan gerhana matahari. Di sana sudah banyak orang berkumpul: anak-anak, remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak. Aku tak tahu dari mana mereka datang, umat sehabis shalat gerhana ataukah sengaja datang seperti halnya kami. Biasanya halaman Mesjid Agung kalau pagi hari dipenuhi orang-orang yang hendak ber-selfie-ria, apalagi ini hari libur. Memang tempat ini, sejak disulap kang Emil menjadi taman yang indah, dijadikan tempat selfie warga Bandung.
Aku tertegun sejenak melihat kerumunan orang-orang itu, mengapa? Kalau kami datang ke medan tempur dengan "persenjataan lengkap", mereka sama sekali tak membawa "senjata" apapun. Sedemikian banyak, tak ada satupun yang membawa peralatan untuk melihat gerhana matahari parsial.
Melihat keadaaan seperti itu, aku memberi instruksi kepada keponakanku: "Vid, kamu gunakan filter las listrik. Aku pakai pinhole projector, berikan 3 kaca mata kepada mereka!" Maka kami bagikan tiga kacamata itu kepada sembarang orang yang berminat di sana. Orang-orangpun bergantian menggunakan kacamata itu. Wah, ternyata aku menjadi semacam "malaikat penyelamat" bagi mereka! Untungnya orang-orang kebanyakan acuh tak acuh dengan peristiwa gerhana matahari parsial sehingga tidak berebut menggunakan kacamata yang cuma 3 buah itu! Aku jadi tersipu, rupanya aku orang yang paling antusias "sedunia" untuk melihat gerhana matahari. Padahal maksudku semula membawa kelebihan kacamata menjaga kalau ada anak-anak kecil rebutan antara kakak dan adik untuk memakai kacamata. Nanti kacamata ini akan berguna untuk situasi yang demikian.
Tiba-tiba ada seorang pemuda bertanya kepadaku: "boleh pinjam kacamata untuk memotret? ". "Tentu saja boleh!", jawabku. Rupanya ada seorang pemuda yang membawa tripod (kaki tiga) dan kamera SLR, tapi lupa membawa filter untuk melindungi kameranya. Hadeuh...., bawa kamera tapi kok tidak dilengkapi dengan filter! Tapi kebetulan, pikirku, aku tidak punya kamera yang memadai. Hasil fotonya terlihat bagus, tajam gambarnya! Seandainya ia memakai lensa tele, hasilnya pasti lebih bagus lagi, gambar yang dihasilkan lebih besar. "Bisa tolong kirim gambar peer to peer menggunakan bluetooth ke hp tidak?", tanyaku. "Tidak bisa, pak! Nanti aku kirim lewat email", jawabnya. Akupun memberikan secarik kertas dan menuliskan alamat emailku untuknya.Alhasil, pemuda yang ternyata bernama Ivan menggunakan kacamataku sebagai filter dan mengabadikan peristiwa gerhana tersebut menit demi menit. Dua kaca mata lain secara bergantian digunakan khalayak untuk menyaksikan gerhana!
Beberapa ibu-ibu terpesona dan berteriak "Allahhu Akbar !" ketika melihat matahari yang telah tertutup bulan menggunakan kacamata itu. Bahkan ada seorang ibu sampai histeris berteriak "Allahu Akbar!" sampai berkali-kali ketika melihat matahari menjadi kecil sekali, berbentuk sabit tertutup oleh bulan.
Ibu-ibu memang terkenal baper dalam menanggapi suatu peristiwa. Kebanyakan kaum Adam berkata tanpa ekspresi atau dengan ekspresi datar "Wah, bagus ya!". Teriakan histeris ibu itu beresonansi dengan jiwaku. "Amin!, Allah memang Mahabesar!" Tahukah ibu, bahwa alam semesta ini terdiri dari tak terbilang banyaknya galaksi dan setiap galaksi terdiri dari milyaran bintang-bintang dan dan bumi hanyalah debu di alam semesta ini? Allah maha besar! Dia sanggup memelihara alam semesta yang maha luas ini!
Ketika aku asyik melihat matahari menggunakan pinhole telescope, banyak anak kecil datang ingin melihatnya juga. Terpaksa aku berjongkok agar setinggi anak kecil, mengarahkan pinhole ke arah matahari dan membiarkan anak-anak itu mengintip matahari. Biasanya setelah anak kecil puas melihat, ayahnya penasaran ingin melihatnya juga, heu, ...heu, .....heu.
Pada fase akhir gerhana terjadi kejadian yang menarik, matahari tertutup kabut, sehingga dapat dilihat jelas dengan mata telanjang, matahari tampak seperti cahaya bulan. Bahkan kalau menggunakan kacamata atau pinhole malah tidak kelihatan saking redupnya, sang surya tertutup kabut. Wah, Allah berbaik hati kali ini! Mengirim filter alam sehingga semua orang di halaman Mesjid Agung dapat melihat gerhana dengan jelas. Anak-anak kecil bersorak kegirangan. Orang-orang ramai-ramai mengarahkan HP mereka untuk mengabadikan peristiwa tersebut.