Mohon tunggu...
Christa Sabathaly
Christa Sabathaly Mohon Tunggu... -

traveler/dreamer/achiever.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Laporan Lengkap Pengamatan PPI UK Atas Kunker BURT DPR RI ke Inggris 1-6 Mei 2011

8 Mei 2011   06:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57 5632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_107972" align="aligncenter" width="640" caption="Djamal Azis berbicara berapi-api di antara hadirin, copyright Trigo Neo Starr"][/caption]

PERKENALAN

Perjalanan dari Newcastle – London kali itu memakan waktu lebih dari 6 jam, karena kami tidak memperhitungkan traffic di London. Ketika sampai di 38 Grosvernor Square, suasana sudah ramai dengan detingan piring beradu dengan sendok. Untunglah acara dimulai dengan makan malam terlebih dahulu.Sempat menyicipi beberapa masakan Indonesiayang sudah jarang kami temukan di Inggris, seperti siomay dan daging cabe ijo, hampir membuat kami terlena untuk tetap di ruang makan saja! Ketika jam menunjukkan Pk 20.00 BST, satu jam lewat dari agenda awal Pk 19.00, kami pun dipanggil masuk oleh staf KBRI ke dalam ruang Crutacala, tempat acara akan dilangsungkan.

Di dalam Crutacala, sekitar 6-8 kursi disusun mengelilingi 10 meja bundar. Para anggota DPR terlihat sudah memenuhi 4 meja bundar yang terletak di bagian depan ruangan. Di salah satu meja, tampak bercengkrama dengan para anggota DPR, Dubes Indonesia untuk Inggris, Pak Yuri Thamrin dan calon Dirjen FAO periode 2012-2015 dari Indonesia Prof. Dr. Indroyono Soesilo.

Mahasiswa dari berbagai penjuru Inggris pun tampak menyesaki ruangan di KBRI London lantai dua itu.Beberapa dari mereka yang tidak kebagian tempat duduk berdiri di mulut ruangan, masih dengan tas ransel atau tas laptop. Maklum, pertemuan ini digelar pada tanggal 3 Mei 2011, hari Selasa. Semester kedua tahun mengajar sudah dimulai, dan di sebagian besar universitas, ujian sedang berlangsung. Bagaimanapun juga, semangat untuk bertemu dengan para wakil rakyat tampak tidak surut, dan para mahasiswa terlihat antusias ketika acara dimulai.

“Saya ini sebenarnya dokter, tapi berkecimpung di politik. Tapi sampai sekarang, kemana-mana masih bawa obat, kok,” canda Ketua Delegasi Kunker BURT DPR/RI ke Inggris, Dr (MED) Indrawati Sukadis membuka acara di podium. Setelah memperkenalkan sedikit mengenai dirinya, ia pun memanggil satu-satu anggota delegasi kunjungan. Mereka menyambut panggilan Bu Indra dengan berdiri melambaikan tangan ke mahasiswa, dan tiga diantara mereka mengepalkan jari dan berteriak ‘MERDEKA’! Para anggota delegasi yang malam itu hadir antara lain adalah :

1.Michael Wattimena(Fraksi P. Demokrat, Komisi V)

2.Bambang Sutrisno (Fraksi P. Golkar, Komisi V)

3.Hernanti Hurustiati (Fraksi P.Golkar Komisi IX)

4.Mangara Siahaan (Fraksi PDIP, Komisi V)

5.Surya Chandra (Fraksi PDIP, Komisi IX)

6.Abdul Hakim (Fraksi PKS, Komisi V)

7.Rahman Amin (Fraksi PKS, Komisi VIII)

8.Primus Yustisio (Fraksi PAN, Komisi I)

9.Syaifullah Tamliha (Fraksi PPP, Komisi IV)

10.Moh. Toha (Fraksi PKB, Komisi V)

11.Agus Sulistiyo (Fraksi PKB, Komisi VII), namun dijelaskan bahwa beliau kini sedang sakit.

12.Djamal Azis Komisi (Fraksi P. Hanura, X)

13.Rini Koentari (Sekretaris Delegasi / Kepala Sekretariat BURT)

14.Ariesy Tri Mauleny (Pendamping Delegasi /Peneliti DPR RI)

15.Boy Ervandi (Pendamping Delegasi / Staff Ahli DPR RI)

Totalnya ada 16 orang, termasuk Bu Indra. Tiga belas (13) orang merupakan anggota DPR RI dari fraksi dan komisi yang berbeda-beda, namun semuanya tergabung dalam alat kelengkapan DPR yang bernama BURT (Badan Urusan Rumah Tangga).

“Kami merasa harus ada komunikasi yang baik dengan publik. Kami merasa hal itu kurang,” lanjut Bu Indra ketika menyebut mengenai pembangunan gedung baru. “Namun, BURT sudah punya RENSTRA, padahal DPR/RI saja selama ini belum punya RENSTRA. Setelah ini, kita akan lakukan sosialisasi ke rektor-rektor universitas dan juga KPK. Insyaallah, dengan komunikasi terbuka kita dapat dukungan dari masyarakat”

Acara dilanjutkan dengan presentasi dari Prof. Dr. Indroyono Soesilo yang cukup mengangkat semangat hadirin. Mantan Sesmenko Kesra ini, sedang kampanye keliling dunia untuk menggayungsuara dalam intensi menjadi Dirjen FAO (Food & Agricultre Organization) pertama dari Indonesia.

Ia menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sedang top-topnya di kancah dunia. Indonesia adalah anggota G-20, negara demokrasi terbesar nomor 3 di dunia, pemimpin dalam isu climate change, negara emerging market, jadi apabila salah satu putra bangsa bisa masuk di posisi atas badan PBB, tentunya akan terus mengangkat nama Indonesia.

Beliau menunjukkan slide-slide berisi surat dukungan dari berbagai petinggi negara di dunia. Salah satunya surat dari Pak SBY tanggal 13 Mei yang mengandung arahan, “saya setuju, saya dukung, dan harus berhasil”. “Wah berat juga ini, didukung tapi mesti berhasil,” kilah Prof. Indroyono.

Namun data yang ditunjukkan mengesankan bahwa tidak terlalu berat untuk berhasil. Suara negara-negara Afrika dan Asia sudah dalam genggaman tangan, Insyaallah pasti masuk ke putaran kedua. “Final sepak bola Indonesia mesti kalah, tapi kalau sudah masuk final ini sepertinya menang,” candanya membuat hadirin tergelak.

Mendengarkan kisah bahagia Prof. Indroyono sempat membuang sedikit rasa pesimis dan menumbuhkan kebanggaan akan aparat negara. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena ketika sesi tanya jawab dibuka, para mahasiswa langsung mengangkat tangan dengan sigap.

SESI TANYA JAWAB

Pertanyaan pertama ditanyakan oleh Dimas Suwito (Deden), Sekjen PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di London

Bapak Ibu anggota Dewan, mengenai kontroversi pembangunan gedung baru, 1.3 T.Sebenarnya fungsi dari gedung baru ini apa? Kami berpendapat bahwa fasilitas di DPR sekarang sudah lebih dari cukup! Fungsi sebenarnya dari BURT itu apa? Mengapa sampai memasuki ranah teknis seperti pembangunan gedung?

Pertanyaan kedua, disampaikan oleh Tara Hardika, Ketua Umum PPI UK

Ass, Wr. Wb, melengkapi pertanyaan dari Deden, saya hendak membacakan surat pernyataan sikap PPI UK terhadap kunker BURT DPR/RI ke Inggris.Mohon tanggapan segera.

[caption id="attachment_106801" align="alignleft" width="300" caption="Tara Hardika membacakan pernyataan sikap PPI UK, copyright Trigo Neo Starr"][/caption]

Tara pun membacakan surat pernyataan PPI UK yang isinya mempertanyakan kedatangan para anggota DPR ke Inggris. Dalam surat itu, PPI UK mendesak Ibu Ketua dan rombongan untuk :

1. Menjelaskan maksud, tujuan, urgensi kunjungan kerja BURTDPR/RI ke Inggris.

2. Memberikan klarifikasi agenda kegiatan kunjungan kerja BURT DPR/RI di Inggris selama 1 – 6 Mei 2011.

3. Menerapkan transparansi & menjelaskan rincian anggaran yang dipergunakan untuk kunjungan kerja BURT/DPR RI.

4.Klarifikasifungsi masing-masing delegasi yang tergabung dalam kunjungan kerja BURT DPR/RI ke Inggris, dan kaitannya dengan poin dua (2) di atas.

5. Memberikan akses terhadap dokumentasi kegiatan kunjungan kerja selama di Inggris dalam bentuk laporan yang sedianya pun siap diterbitkan di media untuk diketahui masyarakat luas.

Usai membacakan surat pernyataan, mahasiswa yang berdiri di mulut pintu ruangan serentak bertepuk tangan; ada yang berteriak “that’s it, that is what we want!”

Ibu Indra pula berdiri setelah beberapa saat hening menyergap ruangan. “Ehm.. saya bahas sedikit, ehm.. nanti teman-teman disini juga boleh menambahkan,” dengan suara agak lesu ia menjelaskan kembali fungsi BURT. “Sebenarnya BURT itu punya 50 anggota. Tapi intinya yang 13 ini. Tujuan kami berangkat adalah penguatan kelembagaan.”

Salah satunya, adalah pembangunan gedung baru yang sudah direncanakan oleh anggota dewan sebelumnya di periode 2004-2009,” ia menarik napas.

“Kami hanya tinggal melanjutkan grand design. Tapi ini pun kami tidak masuk ke ranah teknis, tapi hanya kebijakan, pengawasan, dan budgeting saja. Mungkin ada yang lain?” Bu Indra meminta dukungan dari timnya.

Rahman Amin, mengambil microphone, “Saya menambahkan, ini merupakan kesepakatan periode lama. Jadi jangan pikir kita yang memakai. Bisa aja kita gak pakai! Gedung yang lama, kalau rusak, bisa diperbaiki. Kalau jebol, bisa ditambal. Tapi kalau kita butuh space, ya kita harus bikin gedung baru! Ini butuh perhatian kita semua dalam rangka penguatan kelembagaan. Makanya kita studi banding kesini. Tadi kita tanya sama Sekjen sini (Inggris), kita bingung harus cari tempat yang besar, tapi gedung tidak bisa diapa-apakan. Dia bilang, kita bangun gedung baru tapi jangan jauh-jauh dari gedung lama.” beberapa orang terlihat mengernyitkan dahi atas pernyataan yang terakhir.

“Saya tanya lagi, pernah nggak di Inggris ada kecaman dari masyarakat, suatu program yang sudah lama direncanakan tapi batal karena masyarakat?” lanjutnya. “TIDAK PERNAH, “ seru Pak Rahman. “Nah, program kita tahun lalu pengadaan laptop BATAL karena masyarakat.,” nada suaranya pun meninggi.

“Ketika membicarakan masalah ini, masyarakat bilang, anggota DPR hura-hura! Dana 1,2 T kenapa nggak ke pendidikan? Dana pendidikan itu 22% dari 1.200 T (total APBN), jadi pembangunan gedung hanya 1/1000 dari anggaran. Satu persen saja nggak sampai! Apa mau dilemahkan kelembagaan kita ini? Ya, silahkan,”sahutnya berapi-api.

Mangara Siahaan, anggota DPR yang lain berdiri “Saya juga berkepentingan menejelaskan, dan kami semua akan menjelaskan kalau waktunya cukup. Sodara-sodara sekalian, DPR itu kalau tiap rapat slalu bawa berkas ke ruang kerja. Dulu gedung untuk 560 orang saja…”

“Interupsi, Pak! Daritadi masalah gedung saja? Boleh nggak pertanyaan lain dijawab, untuk mempersingkat waktu juga, “sahut Tara dari antara hadirin.

Kesempatan itu pun langsung disambut oleh Mas Agus, Ketua PPI Southampton , yang menengahi dengan pernyataan, “Kami menemukan data bahwa di Indonesia, masalah kunjungan kerja ini lebih besar dibicarakan dibanding Royal Wedding, karena biayanya 1.6 Milyar. Kami sangat tidak mendukung hal ini!”

Mangara Siahaan pun mundur dengan dalih, “saya nggak ada urusan sama anggaran, silahkan Bu, “menyerahkan microphone ke Bu Indra.

“Semua anggaran dikeluarkan oleh MenKeu, dan pejabat negara itu standarnya sama, ada biaya transportasi, akomodasi, semuanya sama. Tidak ada yang spesial, untuk ke luar negeri pun biayanya sama, “ sambung Bu Indra.

Mas Agus, kembali berdiri dan bertanya, “Masalahnya adalah, Bu, efektivitas, 13 anggota datang, apakah efektif? Kenapa tidak key persons saja? Atau menggunakan solusi IT?”

Happy Novanda dari PPI Manchester, pun menambahkan, “ Saya juga ingin mengingatkan, tolong dijelaskan apa fungsi masing-masing anggota datang kemari, merujuk ke surat yang tadi Tara bacakan.”

Seorang anggota DPR berperawakan perlente dan bersuara pelan dan berat pun mengambil alih situasi. “Terima kasih adik-adik,” sebut Michael Wattimena. Ia pun memberikan penjelasan mengenai efek halo dan efek duri. Efek halo adalah efek “mengikuti”. Apa yang dibilang, pasti diikuti. Kalau efek duri, apapun yang dilakukan, pasti dibilang salah. “Itulah, yang dilakukan DPR tampaknya tidak pernah benar,”

“Baik, saya mau jawab, pertanyaan dari PP.. PP apa? PPI UK ya? Wah banyak sekali tapi… “

Pak Michael pun memberikan kuliah singat mengenai sistem multipartai di DPR. Ia menjelaskan bahwa ada 9 fraksi di DPR, dari 9 partai yang berbeda-beda. Kenapa akhirnya rombongan yang datang ke dalam kunjungan seperti ini, agar tiap partai terepresentasikan. Ketika saya hendak mengangkat tangan dan menginterupsi, Pak Michael menjawab, “sebentar dulu dik, ya, ini pencerahan buat kalian supaya nyambung.”

Setelah itu Pak Michael pun melanjutkan kisahnya mengenai seluk beluk DPR. “Sekarang ini jaman reformasi, semua lebih terbuka. Dulu orde lama, orde baru, sekarang reformasi. Sistem kita terang benderang, sistem multipartai memberikan keleluasaan bagi semua individu untuk membuat partai,” sambungnya dalam pelajaran ‘Sejarah Singkat DPR di Indonesia’.

“70% anggota DPR itu baru, 30% produk lama. Pengalaman minim, padahal rakyat harapannya besar. Apa yang bisa diharapkan dengan keahlian minim itu? Maka kita harus belajar, dan tidak bisa satu-dua orang. Juga masalah kehumasan. Kita di DPR, amburadul humasnya. Antara anggota DPR dan masyarakat yg berkunjung tidak bisa dibedakan! Seperti pasar kaki lima.”

Setelah bercerita panjang lebar, Pak Michael mengulang kesalahan yang sama seperti anggota yang lain, membahas mengenai gedung. “Binatang gedung baru ini produk periode 2004-09. Sudah ada grand design dan maketnya. Dalam proses itu, 10M sudah terpakai , karena duit udah kepakai, hrs dilanjutkan, dan bukan atas keinginan kami.”

“Gedung itu didisain untuk 800 orang. Dalam perjalanan anggota DPR bertambah menjadi 560 orang, sekarang ditambah 1 sekretaris, 2 staff ahli, cleaning service? Jadi berapa tuh?” (masih 564 donk, Pak?)

“Kapasitas bisa sampai 3,000 per hari, termasuk tamu. Itu sudah over.”

“Kenapa harus ada 13 orang kesini, apa ekspektasinya,” lagi, Mas Agus dari Southampton.

Saya pun gemas untuk menambahkan, Terima kasih Pak atas penjelasannya tentang multipartai. Namun setahu saya, sebagai anggota DPR Anda punya hak untuk menolak hadir ke dalam kunjungan semacam ini. Buktinya, Partai Gerindra saya lihat tidak ada dalam daftar kunjungan? Apakah politikisasi fungsi fraksi semacam ini selalu mendahului efektivitas? “

“Lalu mengenai efek duri, tidak juga, Pak. Kami awalnya suportif terhadap kunker DPR, tapi kemudian masuk berbagai opini dan berita, terutama pertemuan komisi VIII dengan PPI Melbourne beberapa saat lalu. Kami pun sekarang mengalami. Terasa bahwa akses kami dipersulit untuk menghubungi DPR.”

“Wah, rasanya persoalan langsung clear ya kalau lihat dik Christa,” kekeh Pak Michael sebelum menjawab pertanyaan. “Mengenai Fraksi Gerindra, ketua Tim Panja itu Pak Pius Lustrilanang dari Gerindra. Jangan sangka mereka tidak ada keterlibatan pada masalah ini. Namun mengenai keberangkatan itu memang tergantung dari Ketua Fraksi. Kebetulan, anggota DPR itu hanya takut pada 2 orang, satu, Tuhan, dua, Ketua Fraksi,” hadirin pun kembali tergelak.

“Gerindra bukan tidak ikut. Salah satu dari mereka wakil pimpinan BURT, akan berangkat memimpin delegasi ke Spanyol,” salah seorang anggota berteriak di antara kerumunan anggota DPR. Ternyata kasus multi partai ini memang sensitif, begitu disebut nama salah satu partai,suasana ruangan langsung ‘panas’.

SETENGAH JAM STANDING COMEDY

OKE OKE, sekarang gini, gedung clear apa tidak?” seru Djamal Azis, anggota DPR dengan aksen Jawa Timur yang kental.

Cleaarr…,” terdengar paduan suara dari hadirin.

“Sebentar, Pak, “seru Redha Bhawika, Wakil Ketua I PPI UK.

“10 Milyar itu tadi biaya apa ya Pak, setahu saya itu untuk biaya sayembara kalau tidak salah? Tapi kenapa sekarang ada perusahaan yang dimenangkan begitu saja?Mohon klarifikasinya.”

Kerumunan anggota DPR menjawab dengan gumam-gumam tidak jelas, “oh itu, periode lalu, untuk konsultan..”

Djamal Azis pun kembali muncul dalam sorotan, “Gedung baru ini sudah disetujui di paripurna. Tapi sekarang kita memang sedang diuji opini media. Padahal kami ini, 560 orang anggota DPR ini, gak ada jam kernya loh dik. Saya tahu karena saya dari kecil dagang. Saya bertekad mau kaya dulu baru terjun politik, supaya ndak mudah dibeli. Eh, rupanya setelah jadi politisi saya ngompol! Biaya politik itu tinggi! Mau media, mau semuanya juga bayar. Tidak ada yang gak pake duit.”

“Apakah saya mau diwakili PDI berangkat ke UK? Nanti saya ditanya Pak Wiranto, gimana kunjungannya? Masak saya jawab, Menurut PDI Pak, begini….” hadirin pun tertawa atas dagelan sekaligus kejujuran Pak Djamal ini.

Namun simpati kepada dirinya pun berkurang ketika ia mencoba menyinggung salah satu mantan Mentri Keuangan kita, “Lalu, Mentri itu darimana? Ya harusnya dari legislatif yang terbaik! Beda kalau akademisi yang jadi Mentri! Gak tau itu keluar-masuk kampung. Diundang rapat dengan legislatif, 6 kali tidak mau datang! Padahal kita yang belanjakan duitnya. Kenapa dia gak mau? Ya karena, dia kan professional. Gak ada urusan dengan legislatif!”

“Sekarang ini, dik. berita koceng (maksudnya kucing) makan tekos (maksudnya tikus)itu bukan berita, “ serunya dengan aksen Jawa Timuran. “Kalau tekos makan koceng, dik, baru berita! Padahal tekos nggak bisa makan koceng, dik!

“Biaya gedung disusun oleh Bappenas dan disetujui Menkeu. Padahal kita ya ndak nempati. Wong kita bukan keong!” sekali lagi Pak Djamal menggelitik audiens dengan dagelannya.

Tapi sayang, kembali beliau mengeluarkan pernyataan yang cukup kontradiktif. “SEA GAMES. Biaya 3 Triliun. Urusan opo toh SEA GAMES? Bahasa kampungnya, ngumpulin orang yang hobinya sama seASEAN, dibuka di Jakarta/Palembang. HURA-HURA DUA MINGGU.” Ia kemudian menuturkan kekecewaannya karena dari biaya sebanyak itu pun kontingen Indonesia tidak berani menargetkan juara di bidang apapun. “TIGA TRILIUN, DUA MINGGU, LOOSE,” matanya membelalak.

“Coba bandingkan dengan gedung yang bisa jadi inventaris, dihuni orang-orang yang mikirken nasipnya sak republik!”

Melihat bahwa situasi makin melenceng dari pertanyaan awal namun waktu sudah terbatas, Tara pun kembali menginterupsi.

“Pak, kami juga punya teman-teman PPI Dunia. Kami sudah cukup clear atas penjelasan Bapak, tapi, kalau yang lain mau menghubungi Bapak dan teman-teman, bisa nggak saya minta contactnya?”

“SANGAT BOLEH ! NANTI SEBELUM SELESAI SAYA BERI CONTACT SAYA,” kilah Pak Djamal.

“Lalu masalah dokumentasi dan output, agenda 1-6 Mei, saya minta outputnya apa? Ada dua belas agenda, tolong dijelaskan Pak. Apalagi Bapak punya website, www.dpr.go.id. Kami rasa website yang sekarang ini sangat tidak informatif,” lanjut Tara. “Apalagi tanggal 5 Mei, agendanya kosong, hanya ada tulisan ‘LONDON’ apa maksudnya, Pak?”

Pak Djamal menyambut pertanyaan Tara dengan kembali bertele-tele mengenai kisahnya sebelum menjadi anggota DPR. Ia pun sempat menyindir salah satu Dubes yang belum lama ini mengeluarkan pernyataan bahwa kunjungan kerja tidak diperlukan. “Dulu dia anggota DPR juga, berangkat juga. Sekarang jadi duta bilang gak perlu. Untung Duta Inggris yang ini agak baik (disambut tawa hadirin dan tepuk tangan),” sambil melirik ke arah Pak Yuri.

“Jarang Duta Besar itu baik. Orang Deplu paling kerjaannya main catur. Tapi, bayarannya Dollar. Padahal ekonomi apa yang dibuat?”

“Mas PPI-PPI.. sekarang ini jaman sudah berobah. Politik ini berobah. Calon berdarkan suara terbanyak. Jadi kalo anggota dewan yang gak isa jawab berangkat ke luar negeri itu kenapa, EKSPOSen, KAMPRET, bilang kalau rakyat di dapilnya itu SALAH MEMILIH. Setuju ngga?”

[caption id="attachment_106800" align="alignright" width="384" caption="Djamal Azis berbicara berapi-api di antara hadirin, copyright Trigo Neo Starr"][/caption]

Lok yok opo, kalo ngantuk kok disoting? Kita ini loh, datang kesini nggak pake tidur..18 jam ya bu ya. Bagaimana ini? “

“Mas, kalau duit itu dikelola eksekutif, kalau duit itu di kita, maka kita bawa wartawan. Ini anggota legislasi 13 orang, berangkat masak merangkap wartawan?? Dunia kan sekarang dalam genggaman, masak yang tua-tua ini disuru internet. Saya ini yang muda saja ndak isa inernetan.”

“Kita bukan kerja itu, kita legislator pengambil keputusan , kalo kita internet terus ya nanti tugasnya gak jalan. Harusnya ada wartawan. Tapi kita ga dikasi kekuasaan itu. Gak boleh ganti budget. Padahal ini kabinet presidensiil harusnya bisa diubah semua , kecuali Al-Quran.”

Pak Djamal pun terus merayu hadirin dengan berbagai joke politik. Ia juga terus berceloteh mengenai beberapa orang yang sudah “tinggi” jabatannya tapi langsung lupa daratan. Ia berharap tidak begitu kasusnya nanti dari Prof. Indroyono, calon Dirjen FAO.

Akhirnya,Pak Djamal pun menutup standing comedy dengan mengeluarkan ajakan. “Kalau besok ada yang prei (libur), silahkan ikut kami kunjungan. Percayalah dengan kami ber-13 ini.”

Sebelum acara ditutup pun Tara mengingatkan kembali bahwa teman-teman mahasiswa belum puas dengan jawaban para anggota, dan tetap meminta laporan dari kunjungan dalam waktu 1x24 jam.

SETELAH 1 x 24 JAM

Keesokkan harinya, masih tidak ada kabar dari para Anggota Dewan atas pertanyaan dari PPI UK. Alhasil, kami meminta bantuan staf KBRI untuk memberikan nomor para anggota DPR.Dari antara nomor-nomor tersebut, yang berhasil di kontak hanyalah Ibu Leny, peneliti DPR/RI.

Ibu Leny menjelaskan tentang banyak hal yang cukup memuaskan pertanyaan di surat kami selama dua (2) jam di telpon dengan Tara Hardika. Namun, sebelum kami benar-benar puas, pembicaraan harus diakhiri karena baterai handphone Bu Leny sudah lemah.

Sebelum menutup telpon, ia sempat menyebutkan bahwa dua hari ke depan (tanggal 5 & 6 Mei 2011) memang adalah hari bebas bagi para anggota DPR di Inggris. Dua hari ini dapat digunakan oleh anggota DPR untuk melakukan berbagai urusan pribadi di Inggris (baca : mengunjungi keluarga, shopping, dsbnya). Menurut Bu Leny, dua hari kosong ini memang atas permintaan parlemen Inggris yang meminta agar agenda dari tanggal 1-6 Mei 2011, dipadatkan menjadi 1-4 Mei saja.

Namun sumber lain yang tidak mau disebutkan namanya, menyebutkan bahwa permintaan pemadatan agenda itu memang sengaja diminta oleh DPR agar mereka memiliki waktu ‘jalan-jalan’ di Inggris. Sumber tersebut menambahkan bahwa hal ini pun sudah merupakan ‘peningkatan’ karena di tahun-tahun sebelumnya, bisa jadi dari rencana 5 hari kerja, hanya 1 atau 2 hari yang dipakai untuk bekerja, sisanya jalan-jalan.

Seyogianya pun parlemen Inggris yang meminta agenda untuk dipadatkan, saya rasa itu karena melihat adanya inefisiensi dari agenda sebelumnya. Jika hal ini memang ditangkap lebih awal oleh para anggota Dewan, mengapa tidak diusahakan agar mereka pulang lebih cepat, agar tidak perlu ada hari ‘kosong’ yang notabene adalah ‘penghamburan uang negara’?

Sekali lagi efektivitas dan efisiensi, tidak diindahkan oleh para perencana masa depan republik ini.

PPI UK DITOLAK ANGGOTA DPR? Bersangkutan untuk memperjelas polemik jadwal kosong para anggota di Inggris, dan juga ajakan Djamal Azis kepada mahasiswa untuk "mengikuti" kunjungan kerja DPR. Maka seorang teman kami, Mas Trigo dari Southampton berencana untuk "menemani" rombongan anggota DPR di tanggal 5 Mei. Pagi hari itu, Mas Trigo menelpon Bu Leny sekali lagi. Dengan sopan Mas Trigo menanyakan keberadaan Bu Leny dan rombongan, dan mau ditemani kemana. Jawaban dari Bu Leny justru sengit. Beliau mengatakan dirinya hanyalah peneliti, dan tidak ada hubungannya dengan rombongan yang lain (loh?). Ia juga mengatakan bahwa dia sudah capek meladeni pertanyaan Tara semalaman, dan mohon untuk tidak diganggu, dan langsung menutup telpon. Alhasil, teman kami Mas Trigo yang sudah melakukan perjalanan 2 jam Southampton - London pun pulang dengan tangan kosong. Kami juga mendapatkan info lain mengenai 'penyebaran' anggota DPR di tanggal 5 Mei itu. Info dari supir bus rombongan, bahwa hari Kamis 5 Mei mereka minta diantar untuk pergi ke Old Trafford (Stadion MU di Manchester). Redha Bhawika, Wakil Ketua I PPI UK yang tinggal di Manchester, mencoba mengkonfirmasi dan berniat untuk menemani mereka selama di Manchester. Ia mencoba mengkontak ketua rombongan Bu Indrawati Sukadis namun tidak diangkat. Pesan SMS dilayangkan ke beliau pukul 11.19 AM BST , 5 Mei 2011, namun sampai kini juga tidak dibalas. Redha juga menelpon Pak Djamal Azis, sebagai 'deklarator' yang menyebutkan bahwa DPR terbuka untuk diikuti. Tapi tidak ada jawaban. Kemudian ia pula menelpon anggota rombongan lain Primus Yustisio, dan diangkat. Ternyata, Primus sudah pulang ke Jakarta sejak acara tanggal 4 Mei selesai. Alasannya, anaknya sakit. Dari fakta-fakta ini pun, kami mendapatkan kesimpulan.  Terbukti bahwa kami memang tidak diberi akses untuk mengetahui kegiatan dan keberadaan mereka hari Kamis tanggal 5 Mei 2011. Singkat kata, perjuangan kami belum selesai. Berbagai upaya masih perlu dilakukan oleh jika aparatur negara belum berbenah. Di sisi lain, justru upaya-upaya semacam ini terus kami lakukan karena kami masih percaya bahwa kami bisa memanjatkan harapan pada para anggota DPR. Segala bentuk kritik yang kami sampaikan, sedikit pun tidak mengandung niat untuk menjatuhkan apalagi menggulingkan mereka. Kami pun sadar bahwa anggota DPR juga manusia. Manusia tidak luput dari kesalahan. Tapi manusia juga punya pilihan agar kesalahan tersebut tidak merugikan orang lain. Sudah merupakan resiko bagi anggota DPR untuk terus disorot dan dilempar "masukan" dengan berbagai cara. Sebagai rakyat, kita pun punya tanggung jawab untuk terus membangun iklim demokrasi yang lebih baik dan santun. Mungkin justru dengan suara rakyat semacam inilah yang akan membuat kunjungan kerja dengan budget milyaran itu, terbayar dengan 'studi' yang setimpal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun