Banjir merupakan permasalahan yang kompleks, dimana faktor penyebabnya sangat beraneka ragam. Oleh karena itu, keragaman yang begitu besar tidak mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Dalam hal ini, teori sistem menyatakan bahwa kesisteman adalah suatu meta konsep atau meta disiplin, dimana formalitas dan proses keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan hingga berhasil (Gigh, 1993; Carnavayal,1992) di dalam Eriyatno (1999).
Banjir, adalah merupakan bencana yang paling banyak merusak dibandingkan Bencana lain yang sering terjadi, tak terkecuali di Jakarta. Sebagai Ibu Kota Negara justru malah menjadi langganan Banjir setiap Tahunnya.
Banjir yang terjadi di Jabotabek merupakan masalah yang harus terus ditangani agar akibat yang ditimbulkannnya tidak banyak merusak dan merugikan Warganya. Selain itu, Â Jakarta merupakan Ibukota negara, merupakan barometer untuk Kota-kota lain di Indonesia.
Banyak sekali Faktor yang menyebabkan Jakarta kerap kali mengalami bencana ini. Satu di antaranya adalah karena Jakarta dialiri oleh banyak Sungai besar yang melintasinya, Penyempitan Sungai, dan juga kelokan-kelokan Sungai yang banyak, yang menyebabkan Air semakin lama sampai ke Muara. Untuk Faktor-faktor yang lain, saat ini Saya tidak akan membahasnya.
Dari beberapa Teori Pengendalian Banjir yang ada, Â 5 diantaranya telah dilakukan oleh Pemprov DKI untuk menanggulangi Banjir yang terjadi. Antara lain adalah:
- Normalisasi 13 Sungai yang mengalir di Jakarta,
- Revitalisasi Waduk dan Situ
- Penataan Sempadan Sungai.
- Optimalisasi Biopori.
- Sistem Polder.
Namun demikian, nampaknya belum juga berhasil dengan baik. Memang Sistem Penanggulangan Banjir tersebut telah mampu mengurangi titik-titik Banjir dengan cukup Signifikan.
Saat ini, Pemprov DKI telah baik sekali dalam melakukan penanggulangan Banjir. Namun ketika Saya melihat Rencananya di laman Pemprov DKI, terdapat sedikit kekurangan yang akan mengurangi efektifitas fungsi Sodetan Sungai yang ada. Kekurangannya adalah, Sodetan dibuat tegak lurus dengan aliran Sungai yang ada. Menurut pendapat Saya, dengan tegak lurusnya Sodetan, maka Debit Air tidak akan bisa lancar seperti jika Sodetan dibuat menyerong.
Solusi "Gila" : Meluruskan Sungai.
Pemikiran Saya, Gagasan "gila" ini barangkali bisa membantu  Jakarta. Sistem Pengendalian Banjir ini dilakukan dengan cara sebisa mungkin meluruskan Sungai, tentunya harus dengan dampak negatif yang sekecil mungkin. Dalam sistem ini, Sodetan dibuat bukan untuk menyambung 2 aliran Sungai, tapi untuk membuat Sungai menjadi lebih lurus, sehingga aliran Airnya menjadi lebih cepat. Inti dari Sistem ini adalah secepat mungkin mengalirkan Air Sungai ke  Laut Utara Jakarta. Sistem ini hanya cocok dipergunakan pada aliran Air Sungai. Sedangkan untuk Air yang berasal dari Hujan yang turun di daerah yang lebih rendah dari Permukaan Laut, Sistem Polder adalah cara yang tepat untuk dilakukan. Sedangkan untuk bagian Hulu, atau wilayah yang cukup tinggi, Peresapan dengan menggunakan Sistem Vertical Drain dan Biopori tentu lebih efektif.
Tinjauan Hukum.
Saya belum mempelajari aspek Hukum atas Sistem ini. Tapi menurut pemikiran Saya, tentu Pemprov DKI bersama DPR dapat membuat Perangkat Hukum yang cocok untuk Sistem, agar Sistem ini bisa dilaksanakan.