Mendekati pelaksanaan pilkada memantik berbagai diskursus. Pilkada telah terjadi berulang kali dan menghasilkan para kepala daerah yang secara kualitatif masih meninggalkan residu bagi daerah yang dipimpinnya. Esensinya seorang kepala daerah ialah orang yang secara personal, gagasan, serta relasi mampu memajukan daerahnya dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Nalar utama ialah kepala daerah tentu telah melihat apa yang menjadi persoalan di daerahnya dan gagasan yang ia janjikan pada masyarakatnya. Disinilah letak determinan yang sebenarnya. Pada akhirnya semua janji yang disampaikan oleh calon kepala daerah berujung pada keputusan rakyat yang menentukan.
Secara kronologis calon kepala daerah yang menawarkan diri dengan berbagai resikonya harus memiliki kontrak kerja sama yang baik dengan partai politik yang mengusungnya. Dalam hal ini partai politik sebagai pemberi rekomendasi berhak menentukan kriteria dan konsekuensi kepada kepala daerah yang akan diusungnya. Realitanya partai politik selama ini hanya sekedar memberikan rekomendasi sebagai syarat dalam persyaratan untuk mendaftar ke KPU. Dukungan partai politik sebanyak 20% minimal seperti yang tertera dalam UU Pemilu. Idealnya sebagai pengusung dan penentu apakah orang tersebut layak atau tidak mencalonkan diri sebagai kepala daerah, partai politik harus mampu menilai kesesuaian antara visi misi calon dengan problematika yang ada.
Korelasi antara gagasan dengan problematika menjadi acuan yang utama. faktanya justru "isi tas" lebih menentukan dari pada gagasan calon. Ini menjadi catatan utama bagi perjalanan pilkada selama ini. pilkada sebagai ajang mencari keuntungan parti dan ini publik tidak mengetahui secara utuh. Sampai kapan praktik ini akan berlanjut akankah hal ini menjadi momok yang melekat dalam perjalanan politik tanpa ada usaha untuk mengevaluasi letak kesalahan awal ada pada partai politik. Dalam UU yang dapat menurunkan jabatan kepala daerah tidak ada elemen partai politik. Hal ini menjadi ambigu sekaligus disparitas, diawal kepala daerah diminta untuk mendapatkan rekomendasi partai politik minimal 20% namun dalam perjalanannya saat ini memimpin partai politik tidak lagi memiliki kuasa atau peran. Berbeda halnya dengan legislatif dan presiden, anggota DPR baik pusat dan daerah dievaluasi kinerjanya oleh partai dan tidak jarang terjadi PAW. Maka ketakutan anggota dewan terhadap "pemecatan" mendadak dari partai selalu menjadi ancaman tersendiri. Pada pemilihan presiden peran partai masih tetap terlihat dengan hadirnya para menteri yang berasal dari partai politik yang mengusungnya.
Dalam pilkada menjadi problem serius yang harus dibenahi, karena hal ini menyangkut dengan hak rakyat dan anggaran negara yang esensinya dapat digunakan untuk membangun berbagai kemajuan di daerah. Para kepala daerah menjadi lebih kuat dan efisien dengan pertanggung jawaban yang konkrit. Utamanya dalam hal ini partai politik sebagai pengusung atau pemberi amanah untuk orang tersebut didudukkan sebagai kepala daerah. Setelah memahami berbagai problem dan kepala daerah memiliki tenggat waktu 2-3 tahun untuk menyelesaikannya bila tidak terselesaikan maka jabatan dicopot atau disanksi secara aturan yang telah ditentukan. Konsekuensi ini menjadi alternatif betapa kepala daerah hari ini seolah tidak terpantau oleh publik kinerjanya dan merasa aman, padahal anggaran negara yang banyak akan mampu membuat merata ekonomi masyarakat bila dipimpin oleh orang yang paham TUPOKSI nya dengan benar.
Kedudukan partai politik di negeri ini sangat krusial, namun seolah hanya menjadi ajang pengusung dan pemberi dukungan yang secara pertanggung jawaban politik hanya bualan semata. Semua pembelaan atau penolakan dapat dicarikan dalilnya bergantung kepentingan siapa dan berapa "isi tas" yang dikeluarkan. Seolah publik tidak paham seperti apa di balik layar hitam yang tak ditembus oleh cahaya kebenaran namun dirasakan secara nyata oleh masyarakat.
Partai Politik Kehilangan Integritas
Hari ini menjadi realita publik partai politik seolah kehilangan jati diri. Partai politik yang sejak awal dirancang sebagai penjaga demokrasi agar berjalan sesuai relnya namun seolah partai politik pula yang menjadi pelaku utama kehancuran demokrasi. Apalah artinya demokrasi jika hanya memanfaatkan uang sebagai penentu utama. Jika Pun ada partai politik hari ini yang tidak mementingkan uang sebagai penentu pencalonan baik di daerah maupun di pusat bisa dipastikan partai tersebut tidak segagah partai besar yang hari ini berseliweran spanduknya di jalanan.
Ruh dari demokrasi hanya dapat dijalankan secara aturan oleh partai politik. Baik buruknya demokrasi dipelopori pula oleh partai politik. Partai politik menjadi episentrum dalam politik nasional namun seolah perdebatan yang digembosi oleh kepentingan tertentu menjadi musibah nasional.
Dengan perdebatan yang seolah hanya menguntungkan partai A atau B menjadi berdampak pada kebijakan pemerintah. Perdebatan yang seharusnya hanya terjadi dalam internal partai politik namun hari ini menjadi konsumsi publik dan pemerintah mewanti-wanti jangan sampai perang dingin antar partai berefek pada goyangnya kursi pemerintah.
Kepala Daerah disetir Partai Politik
Fenomena yang dirasakan oleh masyarakat selama pilkada berjalan ialah kepala daerah yang terpilih hanya menjaga dan mementingkan partai politik tertentu. Bukan barang bau bila dibuka satu persatu kepentingan yang hanya membuka jalan bagi partai politik tertentu melanggengkan pamornya di daerah. Sebagai kepala daerah kebijakan yang dikeluarkan harus mementingkan keseluruhan masyarakat bukan hanya segelintir orang. Ketimpangan ini bila diteruskan akan menjadi benih persaingan tidak sehat berlarut-larut di daerah.