Kasus tragis yang menimpa Afif Maulana, seorang anak berusia 13 tahun di Padang, Sumatera Barat, telah memicu reaksi keras dari masyarakat dan menyoroti masalah serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Afif ditemukan tewas mengambang di bawah Jembatan By Pass Kuranji pada 9 Juni 2024. Investigasi yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengungkapkan bahwa Afif diduga mengalami penganiayaan oleh oknum kepolisian dari Direktorat Sabhara Polda Sumbar, dengan luka-luka dan memar yang ditemukan di tubuhnya termasuk di pinggang kiri, punggung, pergelangan tangan, siku, dan kepala bagian belakang.
Penganiayaan adalah tindakan yang menyebabkan seseorang mengalami penderitaan fisik atau mental melalui kekerasan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Dalam konteks hukum Indonesia, penganiayaan diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika penganiayaan tersebut menyebabkan kematian, maka ancaman pidananya meningkat menjadi paling lama tujuh tahun.
Dalam kasus Afif, tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum polisi masuk dalam kategori penganiayaan berat, mengingat luka-luka yang dialami oleh korban berujung pada kematiannya. LBH Padang menyebut bahwa peristiwa tersebut bermula ketika Afif dan teman-temannya yang sedang mengendarai sepeda motor dihampiri oleh patroli polisi. Saat itu, polisi diduga menendang kendaraan Afif, yang menyebabkan ia terjatuh. Teman-teman Afif melaporkan bahwa mereka juga mengalami kekerasan saat dibawa ke kantor polisi.
Dari perspektif hukum, kasus ini menimbulkan beberapa pertanyaan penting mengenai tanggung jawab dan tindakan yang harus diambil terhadap oknum polisi yang terlibat. Pertama, ada dugaan kuat bahwa tindakan yang dilakukan oleh polisi melanggar hukum pidana tentang penganiayaan dan pembunuhan. Penggunaan kekerasan yang tidak proporsional dan tidak berdasar hukum jelas melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip penegakan hukum yang adil dan transparan.
Kedua, ada kebutuhan mendesak untuk melakukan reformasi dalam institusi kepolisian. Insiden ini mencerminkan adanya masalah sistemik dalam cara aparat kepolisian menjalankan tugasnya, khususnya dalam penanganan terhadap masyarakat sipil. Reformasi harus mencakup pelatihan yang lebih baik untuk aparat penegak hukum dalam menangani situasi dengan cara yang tidak melanggar hak asasi manusia. Kapolda Sumbar, Irjen Suharyono, telah menyatakan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini dan memastikan proses hukum berjalan dengan adil. Namun, pernyataan ini perlu diikuti dengan tindakan nyata, termasuk transparansi dalam investigasi dan sanksi tegas terhadap pelaku penganiayaan.
Kasus kematian Afif juga menyoroti masalah kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Kepercayaan ini telah tergerus oleh berbagai kasus kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan aparat penegak hukum. Masyarakat dan berbagai organisasi hak asasi manusia menuntut adanya keadilan bagi Afif dan keluarganya, serta reformasi menyeluruh dalam tubuh kepolisian. Di sisi lain, kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya pemantauan dan pengawasan terhadap tindakan aparat penegak hukum. Keterlibatan lembaga-lembaga independen dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja kepolisian dapat membantu mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Pentingnya pemantauan independen ini tidak hanya untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarga, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik yang telah hilang. Transparansi dalam proses penyelidikan dan penegakan hukum sangat penting untuk memastikan bahwa semua tindakan yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Selain itu, pendidikan dan pelatihan bagi aparat kepolisian tentang hak asasi manusia dan penanganan yang manusiawi dalam berbagai situasi harus ditingkatkan. Dengan demikian, kita berharap kasus seperti yang menimpa Afif tidak akan terjadi lagi, dan hak-hak setiap warga negara dapat dilindungi dengan lebih baik di masa depan.
Kesimpulannya, kasus kematian Afif Maulana menyoroti perlunya reformasi mendalam dalam institusi kepolisian di Indonesia, terutama terkait penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Penganiayaan yang diduga dilakukan oleh oknum kepolisian tidak hanya mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan tetapi juga memperlihatkan kelemahan sistemik yang harus segera diatasi. Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, penting bagi pihak berwenang untuk melaksanakan investigasi yang transparan dan akuntabel, serta memastikan pelatihan yang lebih baik bagi aparat penegak hukum. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan keadilan dapat ditegakkan dan kejadian serupa tidak akan terulang di masa depan, sehingga hak-hak setiap warga negara dapat dilindungi dengan lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H