Mohon tunggu...
M. Faizi
M. Faizi Mohon Tunggu... lainnya -

penulis dan penerjemah, juga sebagai pengajar di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perjalanan 3 Anak Manusia, 1 Ransel, dan 6 Buah Kelapa Kering

28 Mei 2013   06:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:55 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ini, ya, titip buat Embah Nyang di Soklancar,” kata Ibu seraya menunjuk 6 butir kelapa kering yang telah diikat dengan sabutnya, sepasang-sepasang.

“Iya, Bu,” jawab saya tertegun, menunggu Ibu berlalu.

Hari itu, suatu siang, mungkin 2 tahun yang lalu, saya dan istri serta anak kami yang berusia 2,5 tahun hendak mengunjungi nenek di Larangan Tokol, Pamekasan. Kami berdiri di tepi jalan untuk mencegat “taksi” (baca: angkutan pedesaan) yang akan segera lewat. Masyarakat di tempat kami menyebut semua angkutan umum berplat kuning dengan sebutan "taksi". Interval kemunculan angkutan ini biasanya per 15 atau 30 menit. Beberapa saat kemudian, taksiHiace datang. Untung, kami dapat jok depan, bersama sebuah ransel besar berisi baju serta 6 buah kelapa kering yang besar-besar.

Tiba di Prenduan, saya berdiri menunggu bis. Sebetulnya, jarak tempuh ke rumah nenek hanyalah seperjalanan 45 menit dari pertigaan itu. Kami bisa menjalaninya dengan naik Isuzu minibus sampai di Gurem, oper lagi dengan kendaraan sejenis tujuan Kamal lalu turun di Pertigaan Silur, mulut jalan ke arah Sumber Anyar. Namun, pikir saya, dengan naik bis, kami cukup naik sekali saja dari Prenduan. Sambil berpikir begitu, datanglah Akas livery lama; warna putih dengan kombinasi garis merah-hitam-biru kelabu.

Bis berhenti. Terlintas pesan layanan masyarakat, “women and children first!”. Istri dan anak naik duluan, saya belakangan. Eh, begitu hendak membawa keenam kelapa itu, seikat saya jinjing dengan tangan kiri, dua ikat yang lain saya angkat dengan tangan kanan, astaga, seikat tali sabut kelapa terlepas. Buah sebesar kepala itu jatuh ke tanah, menggelinding di atas trotoar. Saya memungutnya, mendekapnya di dada, dekapan kehangatan yang penuh ketegangan karena klakson bis tiba-tiba menyalak. Saya naik ke atas bis. Tanpa melihat, saya merasakan ada satu pandangan sinis.

Bis bergerak. Derum gahar mesin belakang, Hino RK, membuat bangku-bangkunya serasa bergetaran. 'Saya kenal bunyi mesin ini', batin saya seraya menyapukan pandangan ke seluruh interior. 'Bis ini rasa-rasanya bekas bis yang dulu pernah dibuat jalan-Jogja-an; lalu sekarang dibuat nge-line ke Jember.' Saya berusaha menebak-nebak sendiri. Lekukan bodi dan bentuk kaca merupakan kode penting sebagai acuan analisa semiotik siang itu. Tak pelak lagi, aura dan sentuhan karoseri New Armada masih tergurat tipis di sana, di antara tumpukan dempul yang menebal. Tentu, saya tidak tertarik untuk mengklarifikasi hal itu, seperti mencari pembenaran kepada kondektur atau kernet bis, misalnya. Mengurus kelapa ini lebih penting.

“Larangan Tokol!”

Kondektur hanya menarip 10.000 untuk kami berdua, bukan 13.000 atau 15.000 sebagaimana saya duga. Ternyata, karcis coret-Pamekasan, bukan Larangan Tokol.

“Turun terminal saja, ya!” imbuhnya dengan warna suara yang kering, intonasi datar, wajah polos.

“Saya nambah, Pak, turun di Silur, Larangan tokol,” usul saya seraya mengajukan selembar uang 5.000 rupiah.

“Sudah, terminal saja, nanggung!”

Dari Terminal Ronggosukowati (Pamekasan) ke rumah Pak Silur di pertigaan Sumber Anyar, titik perhentian terakhir kami, hanya kurang lebih 2 kilometer saja, tepatnya 1700 meter. Pindah dari bis dan oper ke angkutan yang lain tentu bisa, namun terbayang akan merepotkan jika harus sambil membawa 6 butir kelapa sebesar kepala orang dewasa. Namun, saya sadar untuk tidak memaksa kehendak kondektur itu. Kiranya, kondektur itu adalah raja dan kami adalah penumpang biasa. Dengan berat hati, saya tarik kembali uang 5 ribu perak itu.

Mesin Hino RK menderu. Tiba-tiba, rpm mesin turun mendadak. Rem diinjak. Jelas, penyebabnya adalah seseorang yang mengubit di depan, di kejauhan, yakni calon penumpang. Kelapa-kelapa yang sebagian tali sabutnya terlepas itu pun menggelinding di lantai bis. Saya memungutinya, mengumpulkannya lagi, menyatukannya. Nah, saat itu saya merasakan betapa repotnya naik angkutan umum dengan barang bawaan berjibun. Muncul pertanyaan, mengapa Ibu tidak titip uang saja kepada saya lalu menyuruh saya membeli 6 butir kelapa sebelum mencapai Sumber Anyar agar buah itu tetap bisa dibawa sebagai buah tangan untuk Mbah Nyang?

Saya berusaha memahami ketidakpraktisan ini. Kiranya, ibu saya tahu akan hal itu. Saya bisa membeli kelapa di Pamekasan, atau menyerahkan langsung uang itu sebagai oleh-oleh, atau... Ah, membawa uang di dompet tentu berbeda dengan membawa kelapa di dalam bis. Mungkin, Ibu menganggap bahwa buah kelapa dari Guluk-Guluk yang menempuh perjalanan ke Pamekasan akan berbeda kualitasnya dengan buah kelapa yang tumbuh di Pamekasan dan tidak pernah menempuh perjalanan jauh kecuali hanya sekadar dari pohon hingga ke dapur. Singkatnya, 6 buah kelapa yang saya bawa akan lebih berpengalaman untuk menjadi santan karena telah menempuh perjalanan 1 jam atau 41 kilometer. Ya, buah kelapa yang saya bawa telah mengalami heroisme-nya sendiri.

Berangkat pukul 01.30 dari Prenduan, akhirnya kami tiba di Terminal Pamekasan menjelang azan Ashar. Bis parkir di jalur pemberangkatan arah Surabaya. Kami turun dan bergegas meninggalkannya, pergi menuju tepi jalan raya. Kami berharap, angkutan pedesaan segera melintas sehingga kami dapat segera menumpang. Tentu, jangan dilupa, satu ransel besar dan enam butir kelapa itu terus bersama kami, membuat kami sedikit repot membawanya. Sementara istri menuntun anak dan membawa ransel, saya menjinjing buah kelapa sekaligus merangkul bagian yang terlepas ikatan sabutnya itu di dada. Susah memang, tapi saya berusaha menganggapnya indah karena dihayati sebagai bagian dari kisah rakyat jelata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun