Mohon tunggu...
M. Faizi
M. Faizi Mohon Tunggu... lainnya -

penulis dan penerjemah, juga sebagai pengajar di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengantar Sang Juara

13 Juli 2012   16:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:59 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pak, pulangnya lewat Karduluk, ya, Pak!”

“Wah, nggak mungkin, Dik. Ini sudah malam, sudah hampir jam 5. Nanti saya ditanyain sama orang rumah,” kata sopir itu, menolak ajakan anak-anak MTs, peserta olimpiade yang diselenggarakan oleh Kankemenag Sumenep.

“Tapi, kasihan ini, Pak. Kami ingin membawa berita kemenangan Farhatin Habibah, teman kami ini, pada orang tuanya di Karduluk,” kata anak-anak, teman Titin—panggilan Farhatin—merengek-rengek kepada sopir L300 yang mereka sewa.

Akhirnya, mungkin juga karena kasihan, sopir melakukan putar balik. Mobil L300 biru itu melewati jalan lingkar, tembus ke Jalan Raya Sumenep-Pamekasan. Hitungannya, cara ini buang waktu dan buang bahan bakar. Kembali ke Guluk-Guluk lewat jalur selatan itu sama artinya buang-buang jarak sekitar 10-an kilometer. Lebih dari itu, sopir tentu lelah karena mereka berangkat jam 8 pagi dari sekolah.

Karena sopir kini telah setuju, anak-anak bersorak gembira. Bapak-ibu Farhatin akan senang luar biasa menyambut putrinya yang datang sebagai juara, demikian pikir mereka. Terbayang ibu Titin sibuk membuat teh. Sementara sang ayah melayani dua guru pendamping, Pak Hazin dan Pak Naufan, dengan seyum tak henti-henti dikulum.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar isak tangis di kursi belakang. Pak Hazin menoleh. Farhatin menangis sesenggukan.

“Ya, kamu harus bersyukur, Nak, karena telah menjadi juara pertama. Teman-teman yang lain ini peringkat belasan saja.” Pak Hazin menyambut tangis bahagia itu. Dia mafhum, sebab, selama ini, belum pernah satu pun siswi dari madrasah tempat beliau mengajar memperoleh juara di bidang Matematika.

Mobil terus melaju dan Titin masih menangis

“Kenapa, Tin?” Pak Hazin mulai curiga. Adakah salah seorang temannya yang telah mencuranginya? Adakah satu di antara teman Titin yang mengancamnya? Adakah dia takut pada sesuatu yang berada di luar keinginannya? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak terjawab.

Selama setahun ini, Pak Hazin membimbing anak-anak mendalami materi pelajaran sains, juga matematika. Ia sadar, setiap ada olimpiade atau jenis lomba yang lain, utusan dari madrasah Tsanawiyah yang dia bina selalu kewalahan dan tidak siap. Akhirnya, anak-anak yang berangkat sebagai utusan selalu membawa modal setengah-setengah. Situasi seperti ini berlangsung selama bertahun-tahun.

Karena itulah, setelah berusaha membimbing beberapa orang siswa dengan tekun selama hampir satu tahun, kini, Pak Hazin, dan semua pihak madrasah tentu, telah merasakan buktinya. Ia berkesimpulan, jika kita melakukan bimbingan yang betul-betul, maka tidak akan ada lagi siswa yang bodoh, tidak akan ada lagi siswa yang minder. Semua siswa punya kesempatan yang sama untuk menang. Semuanya sangat mungkin menjadi juara. Farhatin telah menjadi satu bukti dari itu semua.

“Sudah, nggak perlu menangis. Kami semua akan mengantarkan kamu ke rumah, menemui orang tuamu, dengan piala ini. Mereka pasti bahagia.”

* * *

Pak Hazin berjalan di depan, bersama Farhatin yang menjadi penunjuk jalan, disusul Pak Naufan, serta keempat belas anak yang lain. Mereka telah tiba di lokasi menjelang Maghrib.

Ketika itu, tampak seorang ibu menyambut mereka dalam keadaan kaget tak percaya. Ia ingin tersenyum, tapi ada suasana batin lain yang membuat senyum itu tertahan. Pak Hazin mengalihkan pandangan. Semua anak menunduk. Sontak, pemandangan yang ada di hadapan mereka membuat tenggorokan menjadi kering mendadak.

Apa yang mereka lihat?

Rumah tak berlepa, tanpa beranda. Lantainya tanah, pun tidak rata. Dindingnya lapuk. Kusen tanpa daun jendela.

Semua tamu dipersilakan masuk ke “beranda” dalam. Ya, beranda yang menjadi satu dengan kamar dan dapur. Perkakas-perkakas tampak berserakan. Si ibu menghilang. Farhatin terdiam.

Tak ada percakapan kala itu. Semua tercekat. Mereka baru sadar, mereka telah datang pada saat yang tidak tepat. Lalu, si ibu datang tergopoh-gopoh membawa tikar dari tetangga sebelah. Jangankan meja-kursi, tikar pinjaman yang ia bawa itu tak cukup untuk mempersilakan duduk para tamu yang mengantar sang juara, putrinya ini.

Untunglah, Pak Hazin segera berinisiatif, ia berkata pelan pada anak-anak. “Nak, kalian sebagian duduk, secukupnya. Yang lain biarlah berdiri.” Lalu berkata pada ibu, “Bu, tidak perlu repot. Kami hanya ingin mengabarkan bahwa putri Ibu meraih juara ke-1 Matematika dalam olimpiade yang diselenggarakan oleh Kankemenag di Sumenep. Anak-anak yang lain ini juga ikut serta, namun mereka berada di peringkat belasan. Hanya Titin  yang juara pertama.”

“Iya, Pak. Terima kasih,” jawab si ibu dalam bahasa Madura. “Minta maaf, ya, Pak. Bapaknya Titin tidak bisa menyambut Bapak karena dia baru saja berangkat 3 hari lalu ke Kalimantan untuk mencari nafkah.”

“Oh, tidak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup. Kami juga minta sambung doa karena Titin akan menjadi perwakilan Sumenep untuk penyisihan di tingkat provinsi, di Surabaya.”

Mestinya, si Ibu akan girang alang-kepalang mendengar berita ini. Namun, barangkali perasaan sedih melihat tamu yang berdiri (karena memang tidak ada tempat untuk duduk), tanpa jamuan, tanpa minuman, lebih kuat menguasai perasaannya. Titin dan ibu sama-sama diam.

“Ini, Bu, untuk Ibu,” kata Pak Hazin seraya mengambil keputusan untuk menyerahkan amplop berisi uang pembinaan itu pada si ibu. Hadiah untuk Titin sebagai juara pertama Matematika pada Olimpiade Matematika, Sains, dan Agama adalah uang tunai Rp.150.000.

Adzan Maghrib telah berkumandang. Teja merah di ufuk barat mewarnai suasana batin semua orang yang ada di sana. Ibu terharu tak bisa bicara apa-apa. Pak Hazin kini mulai mengerti makna tangisan Titin di mobil tadi. Farhatin pun kembali ke pondok bersama teman-temannya. Juara matematika itu berjalan tertunduk, sambil berusaha mereka-reka: jika “perasaan bahagia sebagai juara” dikalikan dengan “perasaan sedih karena ia bersama ibunya tak bisa menyambut guru dan teman-temannya”, berapakah jumlahnya? Itulah pertanyaan matematis yang tidak ia jumpai dalam olimpiade siang tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun