Mohon tunggu...
Sarah Putri
Sarah Putri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak dari Pembangunan Gedung Pencakar Langit di Indonesia

6 September 2017   20:17 Diperbarui: 6 September 2017   20:22 10463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak sekali sumber daya alam karena kekayaannya yang menyebar di seluruh Nusantara dan juga letaknya yang sangat strategis. Hal ini menyebabkan banyak negara-negara asing yang ingin menginvestasikan sahamnya dan membangun perekonomiannya di Indonesia.

Mungkin bukan hanya negara asing saja, tapi juga perusahaan-perusahaan lokal yang berada di Indonesia. Apakah kalian tahu bahwa biasanya gedung perusahaan tersebut terletak di Jakarta? Selain karena Jakarta adalah ibukota dari Indonesia, Jakarta juga memiliki perputaran uang yang bisa dibilang lebih baik dari daerah lainnya. Sejujurnya, pembangunan dari gedung-gedung pencakar langit ini memiliki banyak dampak negatif terhadap bumi dan juga kehidupan sehari-hari kita.

Dari sekian banyak gedung pencakar langit di Indonesia, ada tujuh gedung yang memiliki tinggi lebih dari 200 meter. Ketujuh gedung tersebut adalah Sahid Sudirman Center Jakarta dengan ketinggian 259 meter, Raffles Hotel Jakarta setinggi 253 meter, Sinarmas MSIG Tower Jakarta setinggi 245 meter, Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower J Jakarta) setinggi 208 meter, 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower K Jakarta) setinggi 208 meter, 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower L Jakarta) setinggi 208 meter,dan 83 Seaview Condominium @ Green Bay (Pluit Tower M Jakarta) setinggi 208 meter.

Menurut Pengamat Tata Kota, Nirwono Yoga, pembangunan gedung tinggi sering mengabaikan ruang terbuka hijau. Berdasarkan hasil penelitian di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Kuningan, lebih dari 90 persen kavling perkantoran tanahnya diperkeras baik dengan beton maupun aspal. Jika semua kavling diperkeras, hal ini akan menyebabkan wilayah yang ada disekitarnya tergenang air dan menyebabkan banjir dikarenakan tidak adanya tempat resapan air di daerah kavling perkantoran tersebut.

Bukan hanya itu, gedung-gedung tersebut pastinya membutuhkan air bersih, sedangkan pemasokan air kurang. Kekurangan pemasokan air ini, menyebabkan para pemilik gedung melakukan penyedotan air secara besar-besaran tanpa adanya pengawasan. Akibat dari perbuatan ini, penurunan permukaan tanah di Jakarta turun sebanyak 40 persen, sesuai dengan tertulis di laman Jakarta.go.id pada tahun 2010. Namun, hasil perkiraan ini memperkirakan bahwa 50 persen wilayah Jakarta akan berada di bawah permukaan laut dalam kurun waktu 10-20 tahun.

Sedangkan, penurunan permukaan tanah di Jakarta memang sudah terjadi dari tahun 1974. Sebuah data kuantitatif memaparkan sejak 1974-2010 ditemukan fakta telah terjadi penurunan permukaan tanah hingga 4,1 meter. Itu terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Tidak hanya itu, sejumlah wilayah lainnya seperti di Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter dan Cibubur 0,25 meter. Bisa dibayangkan efeknya ternyata besar sekali, ya?

Seperti yang kita ketahui juga, gedung pencakar langit yang berada di Jakarta hampir semuanya terbuat dari kaca. Efek dari rumah kaca ini dapat menyebabkan perubahan cuaca secara ekstrim karena adanya pemanasan global. Pertama, cahaya yang masuk ke bumi tersebut dipantulkan lagi ke atmosfer bumi sehingga merusak lapisan ozon.

Pada tahun 2014, Kementerian Lingkungan Hidup berpendapat efek dari cuaca panas ekstrim kini tidak hanya dirasakan di daratan. Bahkan, di ketinggian atau di atas lapisan atmosfer sengatan panas kini semakin terasa.

"Biasanya sengatan panas saat saya berada di atas pesawat atau ketinggian sekitar 33 ribu kaki tidak begitu terasa. Tapi sekarang, panas di ketinggian ini benar-benar menyengat," ujar asisten deputi bidang pengaduan dan pelaksanaan sanksi adminstrasi Kementerian Lingkungan Hidup, Widodo Sambodo, Minggu (12/10). Ia menjelaskan bahwa sengatan panas yang mencapai ketinggian tersebut menandakan bahwa gas rumah kaca telah menembus atmosfer.

Dari semua penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pembangunan gedung tinggi di Jakarta menyebabkan banyak sekali kerusakan yang terjadi pada alam ini. Dengan mencoba membuat kebun atau taman kecil di atas gedung tersebut sudah sedikitnya membantu mengurangi polusi udara dan melepas oksigen ke atmosfer bumi, kebun ini juga memberikan habitat baru bagi para burung atau binatang yang sebelumnya hidup di daerah tersebut. 

Dan untuk penurunan permukaan tanah, dapat dilakukan hal-hal seperti Rainwater Harvesting atau mengumpulkan air yang berasal dari air hujan dan diolah kembali agar layak pakai, penerapan ruang terbuka hijau, penerapan injeksi air tanah, atau membuat sumur resapan untuk memperkecil dampak buruk dari pembangunan gedung tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun