Bel pulang sekolah sudah berbunyi satu jam yang lalu. Tetapi, Adrian masih saja bermain dengan bola basketnya di lapangan sekolah. Tubuhnya memang sedang bermain, tapi lain halnya dengan pikiran dia yang sedang kalut. Bingung antara harus pulang ke rumah atau menjenguk Mamanya di rumah sakit.
Misal ia pulang ke rumah, ia hanya akan mendapatkan suasana berantakan yang diciptakan ayah kandungnya sendiri dengan wanita-wanita cantik yang selalu ia bawa ke rumah setiap malam. Beberapa wanita itu tidak akan pergi dari rumahnya jika ia tidak mengusirnya sendiri di pagi hari.
“Adrian, di mana kamu? Saya ingin kamu pulang sekarang!” suara Aldy terdengar sangat kesal dari sebrang sana begitu Adrian mengangkat telpon masuk darinya.
“Masih bisa kamu memikirkan saya? Sudah habiskan saja waktumu dengan jalang yang tidak saya usir tadi pagi,” jawab Adrian sambil mengunyah permen karet. Ayahnya sangat geram saat mendengar jawaban anaknya ini, “Apa kamu bilang? Mereka jauh lebih baik daripada Mamamu yang sudah gila itu!”
Adrian terdiam untuk beberapa untuk melihat arlojinya. Terpampang bahwa jam sudah menunjukkan pukul 17.48 dan ia masih saja berada di kafe langganannya sambil menyelesaikan tugas. Adrian mendengus kesal, “Iya terserah kamu saja. Jangan pernah mengejek Mama. Saya lebih benci dengan lelaki sepertimu daripada Mama yang sudah lupa dengan saya!” Adrianpun langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak dan bergegas pergi ke rumah sakit.
----
Adrian sekarang sedang berdiri di depan kamar mamanya. Menimbang-nimbang pilihannya untuk hanya sekedar datang atau masuk ke dalam sana sebagai orang yang sudah dilupakan. Ia selalu berharap sebuah keajaiban terjadi pada orang yang sangat ia sayangi itu. Adrianpun memberanikan diri untuk mengetuk pintu tersebut, yang kemudian dibukakan oleh seorang perawat pribadi mamanya.
Perawat itu tertegun untuk beberapa saat. Kaget karena makhluk di depannya tiba-tiba muncul kembali setelah 2 minggu tanpa kabar seperti dimakan bumi.
“Tumben kamu datang, Dri,” sapa si perawat.
“Ada perlu.”
Adrian langsung lari menghampiri mamanya. Dilihatnya Mamanya sedang menyirami bunga Anggrek kesukaannya.
Sadar akan kehadiran orang lain di kamarnya, Shania langsung menghentikan kegiatannya ia berlari dan memeluk Adrian.
“Duh, Renal kamu ini ke mana saja? Mama sudah menunggumu loh,”
“Ma, ini Adrian bukan Renal!” teriak Adrian sangat keras hingga gemanya memantul di seluruh ruangan.
Mamanya yang semula tersenyum dan tertawa kini terdiam. Kesenangan yang menghiasi wajahnya kini lenyap entah kemana.
Adrian menggenggam tangan ibunya. “Ma, ini Adrian,” kata Adrian menghaluskan nada bicaranya, “Ini Adrian anak Mama yang paling nakal,” lanjutnya lagi. Dengan sepenuh hati ia menjelaskan sebuah kenyataan pada ibunya kalau di hadapannya ini adalah anaknya yang lain, bukan Renal yang selalu ia sebut-sebut. “Adrian yang selalu buat Mama kesal sampai menangis karena Adrian selalu berantem sama Renal.”
Bibir itu tertutup kemudian terbuka pelan-pelan. “Ad... Adrian?” katanya terbata-bata. Seolah-olah nama yang baru ia dengar adalah sosok asing yang tidak pernah ada. Lalu Mamanya tertawa, “Adrian siapa? Mama tidak kenal Adrian! Anak Mama di dunia ini hanya satu! Renal!” pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada Adrian jika sudah membahas soal ingatan.
Adrian memejamkan matanya sesaat. Melepaskan genggaman yang semula berada di tangan Mamanya. Ia sadar bahwa keajaiban belum terjadi hari ini.
---
Kini Adrian sudah sampai di rumah, meletakkan segala atribut sekolah yang semula menempel pada tubuhnya ke segala arah. Seolah-olah penghuni rumah hanyalah dirinya sendir.
“Aduh, Dri. Kamu pulang seenaknya saja meletakkan barang seperti itu,” ucap pembantunya. “Diam, Bi. Saya lelah,” ucap Adrian dengan malas sambil melengos pergi ke kamarnya. “Ya sudah, kalau begitu saya buatkan cokelat panas biar lelahnya hilang.” Adrian hanya diam, tidak mengindahkan perkataan wanita tua itu sama sekali.
Saat Adrian sedang asyik bermain dengan ponselnya. Ayahnya masuk ke dalam kamar dengan diikuti seorang wanita di belakangnya yang berjarak sekitar dua langkah.
“Saya akan menjual rumah ini,” ucap Ayahnya yang membuat Adrian terkejut setengah mati.
Adrian terdiam sebentar. Memikirkan bahwa semua ini hanyalah candaan, tapi tidak lagi terdengar lucu jika sudah Aldy yang bercanda. “Hah? Apa? Saya tidak dengar,” jawab Adrian dengan nada yang dibuat-buatnya agar terlihat lebih tenang.
“Saya. Ingin. Menjual. Rumah. Ini,” ulang Aldy dengan sedikit penekanan di setiap katanya.
“Saya ingin kamu ikut pindah dengan saya ke Bandung. Saya sudah lelah dengan semua kenakalanmu di sekolah!” bentak Aldy kepada Adrian. Wanita yang berada di belakang Aldy langsung menghampirinya dan mengelus-elus pundak Aldy untuk menenangkan perasaan ‘kekasihnya’ tersebut.
Adrian hanya terdiam, menutup matanya berharap jika ia membuka matanya lagi, masalah yang terjadi hanya sebuah mimpi. “Dan sudah ada seseorang yang akan membeli rumah ini,” ucap Aldy melanjutkan pembicaraannya kemudian pergi meninggalkan Adrian sendiri di kamarnya.
Adrian merasa sudah cukup memendam semua kekesalan di dadanya. Ia berlari menghampiri Aldy, meraih kerah bajunya, dan kemudian ia menamparnya.
“Dasar kurang ajar!” teriak Aldy, kemudian membalas Adrian dengan sebuah tamparan juga.
“Kamu yang lebih kurang ajar!” jawab Adrian sambil menampar Aldy lagi, “Rumah ini memiliki banyak kenangan dengan Mama, dan kamu seenaknya saja menjual rumah ini!”
Tangan Adrian dihempas jauh-jauh oleh Aldy, mengakibatkan dirinya terjatuh dan menabrak Bi Jumi yang sedang membawa cokelat panas yang kemudian tumpah ke kaki Adrian. Adrian meringis merasakan panas di kakinya.
“Sudah kalau gitu kamu keluar! Pergi saja dari rumah ini!” bentak Aldy kepada Adrian. “Tanpa kamu suruh, saya memang mau pergi! Dasar orang tua tidak becus!” Adrian langsung pergi dengan motornya. Kembali menghampiri ibunya.
---
“Ma…”
“Wahh… Adrian cepat sekali kembalinya. Bu Shania sedang tidur. Ia menangis sejadi-jadinya, Dri, ketika tahu kalau kamu itu anaknya,” jelas si perawat.
“Ya sudah sus, saya hanya ingin tidur di sini,” jawab Adrian.
“Loh, loh… Kenapa tidak di rumah?” Tanya si perawat.
Adrian hanya memelototi perawat tersebut, ia merasa bahwa itu adalah sebuah pertanyaan konyol yang tidak pantas dilontarkan karena perawat ini sudah termasuk sebagai orang yang tahu tentang kondisi keluarganya yang kacau.
“Eh, iya, iya. Maaf, Dri,” jawab si perawat dengan kikuk. “Kamu tidur saja di kamar ini, biar saya tidur di kamar lain.”
Adrianpun langsung tidur di kasur yang ditunjukkan oleh perawat tersebut. Setiap ia tertidur, bayang-bayang masa lalu selalu datang ke mimpinya.
Adrian terus berlari melalui jalan-jalan sempit dan berlubang sehingga mencipratkan air kotor ke bajunya.
Saat Adrian sudah merasa jauh, ia berhenti untuk bersembunyi di balik pagar bambu. Mengatur nafasnya yang tersengal, sangat lelah baginya untuk berlari sambil membawa tas berisi laptop di pundaknya.
Ketika Adrian ingin melanjutkan larinya lagi, tangannya ditahan oleh seseorang.
“Kamu kembalikan laptop itu kepada pemiliknya. Biar nanti aku yang bilang ke Ayah supaya kamu dibelikan laptop sepertiku,” pinta Renal kepada saudara kembarnya itu.
“Lepas tangan aku! Ayah sama Mama tidak ada yang sayang padaku. Mereka berdua hanya menyayangimu!” gertak Adrian pada Renal.
Memang sejak dahulu, orang tuanya hanya memperhatikan Renal. Kenyataan bahwa seorang Adrian yang suka membuat onar disekolahnya sangat membuat malu kedua orangtuanya. Sifat Adrian yang sangat keras kepala juga membuat orangtuanya sudah lelah untuk mengurus anak tersebut.
“Kamu itu anak Ayah sama Mama. Sedangkan aku? Aku lebih menyerupai anak pungut di rumah!” kemudian Adrian terdiam untuk menyembunyikann tangisnya.
“Mama sama Ayah juga tidak pernah datang ke sekolah untuk menjadi waliku saat pembagian raport. Mama sama Ayah juga tidak pernah memberiku kado yang sama sepertimu. Kamu selalu dapat apa yang kamu mau saat pesta ulang tahun! Sedangkan aku selalu mendapat barang murah,” jelas Adrian tanpa henti, wajahnya juga sudah dipenuhi oleh air mata yang terus-terusan mengalir.
“Mama sama Ayah itu sayang sama kamu! Buktinya, mereka sekarang menyuruhku untuk mencarimu. Ayo, Adrian kita pulang dan kamu harus mengembalikan laptop itu kepada pemiliknya.”
“Kalau Mama sama Ayah benar-bena sayang ke aku. Seharusnya mereka yang datang menjemputku bukannya kamu. Sudah kamu kembali saja ke rumah!” teriak Adrian sambil mendorong pundak Renal.
Renal yang notabenenya seorang anak yang sangat culun dan lemah langsung terjatuh saat Adrian mendorongnya. Ia juga langsung bergegas pergi tanpa melihat-lihat ke arah kanan dan kirinya. Sampai akhirnya ada sebuah motor yang melaju dengan cepat dan menabraknya.
“RENAL!!!!” teriak Adrian, ia melempar laptop yang semula ia pegang ke sembarang arah.
Tangisnya semakin pecah, ia langsung menelpon Ayah dan Mamanya untuk menghampirinya. Adrian merasa tidak kuat saat melihat tangan kanan kembarannya yang hilang entah kemana serta organ tubuhnya yang lain yang sudah dilumuri dengan darah segar. Ia hanya bisa duduk dengan menangis di samping kembarannya itu.
“Renal, bangun, Renal!!!”
“Renal!!! Aku tidak mau dimarahi Mama dan Ayah, jadi tolong bangun.”
“Aku akan menjadi orang baik. Aku janji Renal!” Teriak Adrian tanpa henti. Walau ia selalu membuat kekacaukan dengan kembarannya dan selalu menaruh dendam kepadanya, percayalah kalau ia sangat sayang kepadanya.
Orang-orang sekitar langsung menghampirinya. Seseorang mendekatinya dan menggendong Adrian untuk menjauh dari Renal yang sudah terbujur kaku.
“Renal…!!!!” teriaknya lagi.
“Lepaskan aku!!!! Renal butuh aku! Ih…. Lepaskan aku! Aku benci kalian semua!”
Adrian langsung terbangun dari mimpinya. Mimpi yang selalu menceritakan betapa buruk dirinya di masa lalu. Keringatnya juga telah banyak bercucuran di tubuhnya. Ia langsung cepat-cepat pergi ke kamar mandi untuk mandi dan menenangkan dirinya.
---
Paginya, saat Adrian terbangun. Ia melihat seseorang tersenyum kepadanya. Itu bukan senyuman Bi Jumi saat membangunkannya tetapi senyuman Mamanya.
“Renal!! Kamu tidur di sini semalam? Wah, Mama sangat senang lihatnya,” Shania menatap iris mata Adrian dengan senang.
“Maaa… Saya ini Adrian, bukan Renal. Mama sudahlah, jangan membicarakan Renal lagi. Dia sudah mati, Ma. MATI!” ucapan itu mengalir dengan indahnya dari mulut Adrian yang membuatnya langsung terdiam.
“Maaf, Ma,” ucap Adrian penuh penyesalan. Tangisan kembali terjadi untuk Adrian hari ini. Ia kembali memeluk Mamanya. Saat ia sedang memeluk Mamanya, seseorang sedang berdiri di belakang Mamanya, memandangi semua kejadian demi kejadian yang terjadi. Ia adalah Aldy, ayahnya.
“Saya lelah mengurusmu! Sekarang kamu ikut saya pulang!” bentak Aldy pada Adrian.
“Untuk apa kamu menemuinya yang sudah gila ini. Dia gila karena kamu Adrian!” ucapan Aldy sangat membuat Adrian tertohok di hatinya. Irisan-irisan masa lalu yang hanya datang ke mimpinya, kini datang juga di kehidupan nyata.
“Aku tahu dia. Dia anakku. Dia adalah kakak dari Renal. Aku memang lupa padanya, tapi sekarang aku sudah mengingatnya,” jelas Shania yang membuat kedua lelaki di depannya terdiam sesaat.
“Aldy, lebih baik kamu diam. Urusi saja semua wanita itu,” ucap Shania, “sia-sia aku pernah mempercayaimu di dunia ini,” lanjutnya lagi.
Shania langsung pergi ke taman dengan Adrian.
“Mama benar ingat denganku?” Tanya Adrian tidak percaya. Senyum indah tercetak di wajah tampannya.
“Ya, aku mengingatmu. Kamu adalah anak nakal yang selalu bolos sekolah. Anakku,” jawab Shania. Kemudian Adrian memeluk Mamanya, sangat erat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H