“Ma…”
“Wahh… Adrian cepat sekali kembalinya. Bu Shania sedang tidur. Ia menangis sejadi-jadinya, Dri, ketika tahu kalau kamu itu anaknya,” jelas si perawat.
“Ya sudah sus, saya hanya ingin tidur di sini,” jawab Adrian.
“Loh, loh… Kenapa tidak di rumah?” Tanya si perawat.
Adrian hanya memelototi perawat tersebut, ia merasa bahwa itu adalah sebuah pertanyaan konyol yang tidak pantas dilontarkan karena perawat ini sudah termasuk sebagai orang yang tahu tentang kondisi keluarganya yang kacau.
“Eh, iya, iya. Maaf, Dri,” jawab si perawat dengan kikuk. “Kamu tidur saja di kamar ini, biar saya tidur di kamar lain.”
Adrianpun langsung tidur di kasur yang ditunjukkan oleh perawat tersebut. Setiap ia tertidur, bayang-bayang masa lalu selalu datang ke mimpinya.
Adrian terus berlari melalui jalan-jalan sempit dan berlubang sehingga mencipratkan air kotor ke bajunya.
Saat Adrian sudah merasa jauh, ia berhenti untuk bersembunyi di balik pagar bambu. Mengatur nafasnya yang tersengal, sangat lelah baginya untuk berlari sambil membawa tas berisi laptop di pundaknya.
Ketika Adrian ingin melanjutkan larinya lagi, tangannya ditahan oleh seseorang.
“Kamu kembalikan laptop itu kepada pemiliknya. Biar nanti aku yang bilang ke Ayah supaya kamu dibelikan laptop sepertiku,” pinta Renal kepada saudara kembarnya itu.