Sadar akan kehadiran orang lain di kamarnya, Shania langsung menghentikan kegiatannya ia berlari dan memeluk Adrian.
“Duh, Renal kamu ini ke mana saja? Mama sudah menunggumu loh,”
“Ma, ini Adrian bukan Renal!” teriak Adrian sangat keras hingga gemanya memantul di seluruh ruangan.
Mamanya yang semula tersenyum dan tertawa kini terdiam. Kesenangan yang menghiasi wajahnya kini lenyap entah kemana.
Adrian menggenggam tangan ibunya. “Ma, ini Adrian,” kata Adrian menghaluskan nada bicaranya, “Ini Adrian anak Mama yang paling nakal,” lanjutnya lagi. Dengan sepenuh hati ia menjelaskan sebuah kenyataan pada ibunya kalau di hadapannya ini adalah anaknya yang lain, bukan Renal yang selalu ia sebut-sebut. “Adrian yang selalu buat Mama kesal sampai menangis karena Adrian selalu berantem sama Renal.”
Bibir itu tertutup kemudian terbuka pelan-pelan. “Ad... Adrian?” katanya terbata-bata. Seolah-olah nama yang baru ia dengar adalah sosok asing yang tidak pernah ada. Lalu Mamanya tertawa, “Adrian siapa? Mama tidak kenal Adrian! Anak Mama di dunia ini hanya satu! Renal!” pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada Adrian jika sudah membahas soal ingatan.
Adrian memejamkan matanya sesaat. Melepaskan genggaman yang semula berada di tangan Mamanya. Ia sadar bahwa keajaiban belum terjadi hari ini.
---
Kini Adrian sudah sampai di rumah, meletakkan segala atribut sekolah yang semula menempel pada tubuhnya ke segala arah. Seolah-olah penghuni rumah hanyalah dirinya sendir.
“Aduh, Dri. Kamu pulang seenaknya saja meletakkan barang seperti itu,” ucap pembantunya. “Diam, Bi. Saya lelah,” ucap Adrian dengan malas sambil melengos pergi ke kamarnya. “Ya sudah, kalau begitu saya buatkan cokelat panas biar lelahnya hilang.” Adrian hanya diam, tidak mengindahkan perkataan wanita tua itu sama sekali.
Saat Adrian sedang asyik bermain dengan ponselnya. Ayahnya masuk ke dalam kamar dengan diikuti seorang wanita di belakangnya yang berjarak sekitar dua langkah.