Juli 2002, tiba di Jepang dan memulai pekerjaan paling berat yang pernah aku lakukan dalam sejarah hidupku yakni belajar bahasa Jepang.
Normalnya, kalau orang belajar orang akan tahu sesuatu. Tetapi, tidak untuk bahasa Jepang. Aku belajar seolah-olah hanya untuk menambah ketidaktahuan dan mempertegas kebodohanku. Setelah belajar berjam-jam sehari tiap hari, aku menyadari kemanusiaan jiwaku seperti musnah.
Meski pemahaman bahasa Jepangku masih berantakan, tetapi selalu dipuja-puji saat aku bicara bahasa Jepang. Pujian-pujian yang sering masuk alat pendengarku yakni bahasa Jepangmu bagus. Sudah berapa tahun tinggal di Jepang?
Pujian itu sedikit membangkitkan semangat belajar dan membuat senyumku makin lebar.
Tetapi, aku sedikit tak percaya akan pujian-pujian itu. Kemampuan berbahasa Jepang masih sepotong-sepotong lantas dibilang sudah mampu bukankah itu suatu penghinaan? Hanya orang bodoh yang bisa bangga.
Seorang sahabatku asal Amerika juga memiliki pengalaman yang sama. Dia bilang, "Bagaimana mungkin aku baru mulai belajar bahasa Jepang saat tiba di Jepang. Tentu saja kemampuan bahasa Jepangku krisis. Tetapi, mereka selalu memuji setinggi langit. Tetapi, ketika bahasa Jepangku sungguh-sungguh bagus pujian-pujian itu justru menghilang."
Sahabatku itu akhirnya menyadari bahwa ketika orang Jepang memuji kemampuan bahasa Jepang kita, itu tanda kita belum mampu apa-apa.
Tetapi, ketika pujian mereka hilang dari mulutnya, Anda jangan menggerutu karena itu tanda bahwa bahasa Jepangmu sudah bagus.
Kepada teman-teman yang sedang belajar bahasa Jepang, ini hanya satu awasan. Ketika Anda dipuji itu tanda bahwa Anda harus lebih giat lagi dalam studi karena kemampuan bahasa Jepangmu belum pantas untuk dibanggakan. Bila, pujian-pujian itu tak terdengar lagi, jangan bermuram muka, karena kemampuan bahasa Jepangmu sudah mantap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H