Mohon tunggu...
Saadul Rijal
Saadul Rijal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

menjadi seorang penulis untuk menyuarakan suara petani dan masyarakat pada umumnya adalah sebuah kebanggaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pangan untuk Bangsaku atau Bang Saku

11 Mei 2023   16:28 Diperbarui: 11 Mei 2023   16:48 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bagaimana kabar pertanian kita setelah beberapa bulan belakangan ini harga pupuk non subsisidi sangatlah mahal. Bagaimana petani memaksimalkan produksi pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan  dengan kondisi seperti itu. Keinginan untuk mewujudkan ketahanan pangan dari pemerintah terlihat sebagai sebuah wacana belaka saja. Tata kelola pangan menjadi sebuah problematika dari Indonesia sendiri. Pemerintah memiliki keinginan kuat untuk bisa mencapai ketahanan pangan, namun tidak bisa merealisasikan sejauh ini. Malahan dengan beberapa kebijakan yang dinilai kontroversial seperti impor beras ditengah panen raya menjadi sebuah kejanggalan. Maka muncul pertanyaan apakah tata kelola pangan menjadi sebuah solusi untuk bangsaku atau bang saku.

Indonesia adalah sebuah negeri agraris yang seharusnya bisa mewujudkan ketahanan pangan melalui tata kelola pangan yang baik. Jaminan terhadap petani seharusnya bisa menjadi prioritas bagi pemerintah dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Petani menjadi penyokong dalam ketersediaan pangan dengan menyediakan sumber daya pangan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Jaminan yang dibutuhkan petani adalah jaminan harga produk pertanian, jaminan terhadap produk hukum dan tentunya jaminan ketersediaan pupuk.

Pupuk akhir-akhir ini menjadi sangat langka dan sangat mahal, padahal hal tersebut menjadi kebutuhan pokok dari pertanian. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia atau SPI, Hendri Saragih mengatakan bahwa masalah pupuk penting untuk dijamin ketersediaan dan ketahanan pangan. Sebagaimana diketahui petani dalam negeri saat ini menghadapi masalah harga pupuk nonsubsidi yang tinggi dan ketersediaan pupuk yang terbatas. Ketersediaan pupuk bersubsidi sangatlah sulit dikarenakan pemerintah membatasi penyedian pupuk bersubsidi. Serikat Petani Indonesia menyebut harga pupuk nonsubsidi naik 100% sejak awal 2022.

Tata kelola pangan sejatinya menjadi problematika yang saling tumpang tindih dengan keinginan luhur dan juga implementasinya. Tata kelola pangan seharusnya mampu diwujudkan dari hulu sampai ke hilirnya. Hulu disini ialah pemerintah yang seharsunya memperbaiki sistem, aturan dan juga program yang harus bisa dikawal dari hulu sampai ke hilir. Masyarakat petani yang menjadi hilir dari program pemerintah bisa memaksimalkan hasil pertanian, sehingga mampu mencapai ketahan pangan. Namun fakta yang terjadi adalah pemerintah justru menjadi lawan petani secara langsung dengan menjatuhkan harga beras. Dengan cara impor beras sebanyak 2 juta ton dengan 500 ribu akan segera diturunkan.

Panen raya pada petani sejatinya masih berlangsung dan pada tahun 2023 ini rata-rata produksi lebih tinggi dari tahun 2021 dan 2022. Hal ini cukup menjadi perhatian terutama bagi petani milenial dan ormas yang terlibat sehingga memunculkan spekulasi apakah impor ini untuk persiapan pemilu 2024 dimana para capres akan melakukan kegiatan sosial. Muncul juga pertanyaan tentang apakah impor ini untuk memberikan pesangon kepada para pejabat sebelum pensiun dari periode ini.

Dalam kaitannya dengan ketahanan pangan, masalah sesungguhnya hanyalah masalah industri yang bersumber dari buruknya sistem pengelolaan pertanian. Hal ini mengakibatkan minimnya kepemilikan tanah, terbatasnya modal, lemahnya penguasaan teknologi dan lemahnya daya tawar dalam menjual hasil panen. Korporasi membuat sistem ekonomi yang memungkinkan kebebasan mutlak dalam mengendalikan perusahaan pangan, memperketat sistem tata kelola yang mengekang petani kecil, menimbulkan ketimpangan kepemilikan, penguasaan rantai produksi distribusi pangan dan penguasaan harga pangan oleh korporasi raksasa. Sedangkan pemerintah sebagai arbiter yang berpihak pada perusahaan.

Tersedianya sarana produksi pertanian atau saprotik yang berkualitas masih menjadi impian para petani. Terutama untuk petani kecil yang berada di daerah luar jawa yang sangat sulit untuk mendapatkan program pemerintah secara langsung. Sampai saat ini, perusahaan benih, pestisida, pupuk, dan lainnya masih menguasai keuangan. Selain mahal untuk mendapatkan bibit unggul dan berkualitas, bibit yang diproduksi perusahaan juga menyebabkan petani menjadi ketergantungan. Pemerintah memberikan izin pengelolan secara penuh kepada korporasi asalkan tetap memberikan pemenuhan bang saku.

Lantas bagaimana seharusnya tata kelola itu untuk bisa mensejahterakan petani khusus dan seluruh rakyat Indonesia. Apakah ini tentang aturan, tentang hulu ke hilir, tentang pengelolaan, atau peran dari petani sendiri yang tak pernah bisa berdaya. Ini tentang semua hal yang terkait dengan tata kelola lahan untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun