SADAR atau tidak, jika Ramadhan kita adalah sekaleng soft-drink. Tentu kita pernah minum minuman kalengan yang banyak dijual di pelbagai tempat ini. Coba, apa yang kita dapatkan pertama kali setiap kali mau minum minuman itu? Ketika pertama kali dibuka, terdengar suara “ssshhhhhhhhhh………”. Mirip suara desisan panjang dan makin lama makin tak terdengar suaranya. Untuk kemudian hilang sama sekali tak ada bekas. Nah, seperti itulah persis Ramadhan kita.
Seperti yang sudah-sudah, kita tentu semangat menghadapi hari pertama Ramadhan. Pas waktu shalat tarawih, saya suka kagum sendiri. Masjid penuh. Bahkan kebun dan halaman masjid dipakai juga buat shaf-shaf baru. Ketika saya membayangkan andai saja ini pemandangan yang terjadi pada setiap waktu shalat Subuh selama 11 bulan berikutnya, bulu kuduk saya begidik. Saking rindunya salat Shubuh berjamaah di masjid dengan banyak orang setiap hari.
Apa daya, jangankan untuk sebelas bulan berikutnya itu, lima hari kemudian, pemandangan yang lain sudah terjadi. Jamaah secara drastis sudah menurun jumlahnya. Memang sih masih tetap banyak dibandingkan dengan jumlah biasa di hari-hari biasa. Tapi tetap saja keliatan beda dan sedikit dibandingkan dengan hari pertama Ramadhan.
Sepertinya, tak usah kita membicarakan hal lainnya (kali! Lagipula, yang lainnya apaan juga?). Kenapa memang? Ya, shalat tarawih saja bisa jadi sudah bisa dilihat dari cerminan atau standar pertama Ramadhan. Bahwa amal Ramadhan kita emang tak begitu jauh dengan botol kaleng minuman dingin. Makin Ramahadhan beranjak ke tengah, tarawih dan tilawah makin kedodoran. Begitu juga dengan salat berjamaah, hanya menyisakan bapak-bapak dan orang tua secara dominan. Apalagi ketika ada tayangan langsung sepakbola Liga Inggris. Banyak dari kita laki-laki yang memilih salat berjamaah di rumah. Namun dan mal-mal kembali penuh seperti biasanya.
Memang sih di sekolah pun ada sanlat. But as always be from year to year, deadly boring! Jadi apa dong yang bisa bikin Ramadhan jadi lebih hidup dan terasa jiwanya?
Jawabannya mungkin banyak. Mungkin selama ini kita tak pernah benar-benar merasa niat untuk mejnalankan puasa Ramadhan. Mungkin kita tak serius dalam bergembira menyambut BBM—maksudnya Bulan Berkah dan Maghfiroh ini ……. Mungkin memang kita sendiri yang sudah biasa saja nonton tipi seharian, mulai dari tayangan olahraga, sampai sitkom dan acara ghibah tujuh hari tujuh malam. Mungkin memang kita sendiri yang sudah biasa dengan kemaksiatan d sekitar kita. Lihat orang pacaran, biasa. Lihat orang makan bakso siang-siang di tempat umum, biasa. Lihat temen kita ngeband, juga biasa. Ngelihat bodi perempuan yang seksi juga biasa.
Ini mungkin tulisan defensif sekali. Tapi semoga kita tidak mati di bulan Ramadhan! Semoga Ramadhan kita tidak seperti botol atau kaleng soft drink. Mumpung masih hitungan jari tangah sebelah—maklum, soalnya, ada yang sudah tiga hari, dan ada pula yang tiga hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H