Perselisihan antara orang tua vs. Guru dalam beberapa tahun terakhir mulai menjadi persoalan klasik. Maraknya media sosial serta sorotan media konvensional terhadap kejadian-kejadian seputar perselisihan tersebut makin menjadikan persoalan tersebut seolah sedemikian genting.
Genting atau tidak tentu tiap-tiap orang memiliki peniaian subjektifnya masing-masing. Tanpa hendak menyoroti kasus per kasus secara spesifik terlebih memfokuskan pada kasus perselisihan orang tua dan guru yang baru-baru ini banyak menjadi sorotan rasanya memang selalu muncul pro dan kontra dalam kejadian semacam ini karena masing-masing berangkat dari kacamata yang berbeda.
Lantas siapa sebenarnya yang lebay alias berlebihan dalam perselisihan tersebut secara umum? Sebagian pihak tertentu melihat bahwa belakangan guru acapkali dijadikan korban atau target, setiap tindakannya diamati, dikritik dan bahkan dicela. Pada sisi lain orang tua tentu saja punya naluri melindungi anak.
Sebenarnya memang tidak pernah sederhana dalam menunjuk siapa benar dan siapa salah. Perlu dipahami bahwa hal utama dalam mendidik anak yang semestinya dipahami oleh setiap orang tua maupun guru adalah jangan pernah mempermalukan anak.
Bagi masyarakat kita mempermalukan anak seolah sudah jadi tradisi. Orang tua sendiri acapkali melakukan tindakan yang mempermalukan anak baik melalui bentakan, teriakan, ancaman hingga kekerasan fisik. Kekerasan fisik tidak selalu mengacu pada tindakan primitif seperti memukul, menendang dan mencambuk. Sebab menampar, memukul pantat dan menjewer pun sudah masuk dalam kategori mempermalukan dan kekerasan.
Kekerasan sendiri bukan semata-mata yang sifatnya fisik namun termasuk juga verbal. Dahulu sebelum menjadi orang tua saya sendiri beranggapan wajar melakukan sedikit kekerasan fisik seperti menjewer dalam rangka mendisiplin anak jika memang sudah kelewatan. Namun pandangan tersebut seketika berubah setelah menjadi orang tua dan mencoba belajar dari beberapa literatur.
Kekerasan maupun tindakan lain yang berdampak mempemalukan anak sama sekali tidak bisa ditolerir. Benar bahwa kesabaran ada batasnya dan memang anak punya kecenderungan ‘mencobai’ batasan-batasan tersebut terutama pada orang-orang yang dekat dengannya, umumnya tentu saja adalah orang tua. Namun kondisi itu tak menjadikan orang tua berhak melakukan kekerasan atau mempermalukan anak.
Jika orang tua saja tidak ditolerir tentu lebih-lebih guru. Saya geli sekaligus kecewa ketika tak sedikit orang yang dengan bangganya bercerita pada jamannya jika guru memukul dengan penggaris pun murid harus patuh. Maaf saja, bagi saya pernyataan itu sangat idiot. Bukan soal masanya yang berbeda, namun soal pengetahuan. Pengetahuan tentang dampak sebuah tindakan kepada anak di masa lalu tentu lebih terbatas dibanding jaman sekarang. Jika masa lampau dijadikan acuan maka kita akan jalan di tempat. Bukan berarti jika di masa lampau suatu tindakan ditolerir bahkan dibenarkan harus berlaku pula pada masa kini.
Karena itu jika seorang guru entah mencubit, menampar apalagi menempeleng sama sekali tak bisa dibenarkan. Jangankan kekerasan semacam itu, memberi hukuman dengan berdiri di depan kelas, dijemur di lapangan dan sejenisnya pun bukan tindakan yang bisa ditolerir karena hal-hal tersebut jelas mempermalukan anak.
Jika seorang ingin menumbuhkan rasa hormat anak kepada orang tua, sesama dan sebagainya maka mula-mula baik guru maupun orang tua juga harus menghormati anak tersebut. Semua orang tua masa kini tentu sudah paham jika nasehat dan kata-kata tidak akan pernah dijiwai oleh anak, apa yang dipelajari dan dilakukan oleh anak adalah apa yang ia lihat dari orang dewasa entah orang tuanya, guru dan sebagainya. Jika Anda ingin anak tahu bagaimana menghormati dan menghargai maka mula-mula bertindaklah juga demikian.
Apa yang oleh orang tua jaman dulu dan mungkin sebagian orang tua masa kini sebagai ‘tough love’ justru merupakan awal dari tindakan menyimpang seorang anak.