Mohon tunggu...
Setiawan Suryana
Setiawan Suryana Mohon Tunggu... -

Alumnus Statistika IPB, pernah menjadi dosen, programmer, sales, manajer IT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru yang Galak di Sekolahku

4 November 2017   20:31 Diperbarui: 4 November 2017   20:44 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bel berbunyi, tanda akhir pelajaran. Kami mengucap salam, dan Pak Soleh keluar ruang. Aku? Senang tiada terkira. Serasa bagai di surga. Tentu, karena jam pelajaran yang paling menyeramkan telah lewat. Tentu, karena aku selalu ketakutan. Dan sekarang....., pelajaran ini baru saja lewat!

Pak Soleh mengajar kesenian, tepatnya seni suara. Biasanya kami disuruh berdiri, lalu ambil suara. Kalau sudah begitu, aku paling takut. Beberapa kali aku dibentak, "sumbang, kamu!" Serasa diceburkan ke laut. Oh, bukan, seperti didorong ke jurang maha dalam. Atau, seperti ditikam samurai hingga ke jantung!

Sungguh, aku tak tahu, apa salahku? Aku sangat sadar, suaraku jelek. Tapi, aku tak tahu, bagaimana mengubah suaraku agar jangan jelek. Sumbang? Apa pula artinya itu? Mungkin dulu aku terlalu pongah. Saat di sekolah dasar, aku mengira suaraku sangat bagus. Sekarang, di sekolah menengah pertama, ternyata suaraku jelek, hingga sering dibentak.

Sebenarnya, saat awal masuk SMP, paman sering menggodaku, "kamu mesti minum air jeruk peres!" Tapi, aku tak mengerti, ada apa dengan suaraku? Andai saja ada alat perekam suara. Andai saja ada yang mau mendengar, lalu menjelaskan apa yang salah dengan suaraku. Andai saja ada guru vokal yang mau membimbing dan menuntunku, hingga suaraku bisa diperbaiki. Oh, andai saja...

Situasi ini sangat mengerikan. Kesenian ini sangat mengerikan. Satu jam setiap Jumat pagi itu sangat mengerikan. Satu jam itu bagaikan hantu yang paling mengerikan. Aku ketakutan sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang semester, bahkan sepanjang libur. Selalu terbayang, "esok" pasti jumpa lagi!

Aku tahu, Pak Soleh adalah guru yang baik, teramat baik. Beliau adalah guru yang mulia, yang mengabdikan hidupnya untuk mendidik kami semua. Yang selalu berusaha membangun kepribadian yang baik, tegar, dan mulia. Agar setiap kami menjadi penerus yang membanggakan bangsa dan negara. Beliau marah kepada anak-anak yang menyepelekan kesenian, khususnya seni suara. Tanpa seni, hidup tak berarti. Tanpa seni, semua keahlian percuma. Ya, kami harus menghargai seni. Masalahnya, suaraku jelas bermasalah.

Baiklah, akan kutunjukkan, bagaimana apresiasiku terhadap seni. Kucurahkan berbagai ide ke dalam tulisan. Kutuntaskan beberapa cerita pendek. Kukirim ke majalah. Harapanku, Pak Soleh akan melihat tulisanku, dan percaya bahwa aku juga bisa menghasilkan karya seni. Tapi sayang, sepertinya tak ada yang dimuat. Penuh harap, namun setengah putus, aku menanti...

Suatu hari, heboh di sekolah. Heboh di antara teman-teman. Tulisanku berjudul "Guru yang galak di sekolahku" dimuat! Nama Pak Soleh jelas disebut. Nama penulisnya juga jelas tertera. Tentu saja, karena memang aku berharap Pak Soleh melihat karyaku. Maka jelas, semua tahu. Teman-temanku terkejut. Yang tak mengenalku bertanya-tanya, siapa gerangan penulis ini?

Pak Soleh memanggilku ke ruang guru. Ada guru yang mencaci. Ada guru yang bertanya, "Berapa honornya?" Ada guru yang memuji, "Salut kepada Pak Soleh!"

Lalu aku dipanggil ke ruang bimbingan. Dijelaskan, semestinya bukan begini cara mengungkapkan perasaan. Aku disuruh minta maaf. Kedua orang tuaku datang ke sekolah, meminta maaf. Aku diminta menulis ulang, untuk perbaikan, yaitu berterima kasih kepada Pak Soleh. Ya, sesungguhnya aku berterima kasih. Tanpa beliau, takkan kutemukan bakatku. Terima kasih, Pak Soleh. Bapak telah membangkitkan semangatku. Bapak telah menjadikan aku seorang yang percaya diri. Jasa Bapak dalam mendidikku takkan terbalaskan. Semua kebaikan Bapak pasti diterima dan mendapat ganjaran berlimpah dari Allah Yang Maha Pengasih. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun