Galau yang tertumpah tujuh tahun lalu. Semoga masih update....
Lalu lintas Jakarta sudah tak mampu menanggung beban. Benar, dan karena itu wacana pemindahan ibukota sempat santer. Sepetinya, itu adalah gagasan cemerlang. Di lokasi yang baru, segalanya dapat ditata ulang. Tentu segala kekeliruan berdasarkan pengalaman jangan sampai terulang. Tapi, benarkah? Coba lihat ke sekitar Jakarta. Keadaan yang nyaris sama mudah ditemui di Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. Bahkan, kemacetan di kota-kota besar lain di Indonesia juga cenderung meningkat. Mestinya mudah dipahami, bahwa masalah lalu lintas bukan monopoli Jakarta. Artinya, upaya "menata ulang lalu lintas" mungkin akan berakhir sama, kalau akar permasalahannya tidak betul-betul disentuh dan diatasi. Sebaiknya masalah ini dievaluasi secara lebih terpadu dan komprehensif.
Reorientasi Arti Lalu Lintas
Lalu lintas adalah prasarana untuk mencapai (tempat) tujuan. Siapakah yang perlu? Pertanyaan ini yang sering dilupakan. Yang perlu mencapai tujuan adalah manusia. Bukan kendaraannya! Warga mesti berjalan kaki dari rumah menuju tempat perhentian angkutan. Tapi, coba perhatikan, berapa banyak rumah yang halamannya dilengkapi trotoar, atau yang fungsinya sejenis itu? Tak tersedianya trotoar, mengakibatkan setiap orang ingin menghentikan angkutan langsung di depan rumahnya. Lantas, muncullah kebutuhan (bukan keinginan) untuk membeli mobil atau motor, supaya tak perlu berjalan di "bukan trotoar". Di sisi lain, angkutan umum sering menjadi sasaran kejahatan. Juga sering penuh sesak, bahkan hingga sebagian penumpang mesti bergelantungan. Sering tak sabar, sehingga penumpang mesti berlari mengejar atau tergesa-gesa saat turun. Juga sering menjadi tempat tawuran bagi anak sekolah. Saat sepi, berhenti lama di banyak tempat, tanpa peduli berapa lama penumpangnya mesti menunggu. Sebaliknya, saat mengalami gangguan teknis, calon penumpangnya dibiarkan begitu saja. Keadaan yang tidak berketentuan ini memaksa orang berpikir ulang, "Sanggupkah mencicil motor atau mobil?" Sekalipun jawabnya "tidak sanggup", situasi yang ada telah memaksa warga tetap mencicil motor atau mobil! Sadarilah, pengguna lalu lintas adalah manusia. Kalau kebutuhan penggunanya terpenuhi, kebutuhan menggunakan motor atau mobil pribadi akan berkurang. Dengan berorientasi manusia, seyogianya sarana dan prasarana pendukung pun disiapkan untuk manusia. Ini mencakup: trotoar, angkutan umum yang layak dan nyaman, tempat perhentian atau halte, sarana informasi rute perjalanan, dan penyeberangan jalan. Lalu, polisi atau petugas keamanan selalu disiagakan di banyak tempat, demi mencegah kejahatan. Lebih ideal lagi, bila disediakan banyak tempat berteduh, untuk menghadapi hujan, cuaca terik, atau sekedar istirahat setelah berjalan cukup jauh, sekaligus jajan di tempat berteduh itu.
Biaya Besar Benahi Lalu Lintas
Pembenahan lalu lintas membutuhkan biaya yang sangat besar. Itu jelas, dan anggaran pemerintah saat ini tidak cukup. Ironisnya, pembengkakan biaya yang luar biasa besar di sisi warga pengguna jalan "tidak dianggap sebagai masalah". Kalau ditimbang secara arif, biaya pembenahan lalu lintas adalah investasi, sangat berbeda dari pembengkakan biaya warga yang merupakan pemborosan. Sudah banyak diulas, dampak buruk akibat situasi macet. Konsumsi bbm (bahan bakar minyak) bertambah, produktivitas menurun karena waktu tempuh lebih lama, dan biaya perawatan kendaraan meningkat. Pada aspek manusia pengguna jalan, kerugiannya: masyarakat cenderung menjadi lebih agresif, serta kecelakaan bahkan kematian lebih sering terjadi. Kalau nyawa manusia masih dianggap berharga, pemerintah seharusnya tanggap, dan investasi yang selama ini dianggap mahal itu akan terasa tak berarti. Pembenahan prasarana yang berorientasi manusia, adalah pilihan termurah, apalagi jika dibandingkan dengan pembiaran yang terus mendorong penggunaan motor atau mobil pribadi. Pemerintah harus malu, karena sesungguhnya total akumulasi belanja transportasi warga semakin hari semakin menjulang, apalagi kalau faktor tekanan psikologis dan berkurangnya kesempatan berkarya ikut diperhitungkan. Kebutuhan modal untuk mengatasi masalah lalu lintas dapat dipastikan sangat besar. Tapi, Â itu adalah investasi dan kewajiban negara, dalam kaitan mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Bagaimana bisa menjadi cerdas dan sejahtera, bila situasi sehari-hari selalu terisi egoisme pengguna jalan dan teror lalu lintas? Atau justru sebaliknyakah, bangsa Indonesia diharapkan menjadi cerdas dan tangguh karena "ujian mental lalu lintas"?
Pembrutalan Massa
Turunlah ke jalan, dan hadapilah ujian mental yang luar biasa. Supir yang penyabar sekalipun, pasti sulit menahan emosinya, karena semua kendaraan seperti tak mau bergilir. Tentu saja, karena sering kali situasinya memaksa demikian. Misalnya, pada banyak titik penyempitan lajur dari dua menjadi satu (atau bahkan dari tiga atau empat menjadi satu), sering kali tidak ada rambu atau polisi pengatur. Demikian pula, sebagian pengemudi yang memilih lajur kedua atau ketiga untuk belok ke kiri secara menukik, jarang terkena sanksi, atau terkadang secara tegas "dipersilakan". Lumrah pula sulitnya menerobos antrean karena sepertinya semua orang tak mau mengalah, tak peduli  kondisi jalan di seberang relatif lengang. Kendaraan punya potensi mencelakakan sesama pengguna jalan. Kalau diibaratkan senjata api yang dimainkan oleh anak kecil, apa resikonya? Bagaimana pula kendaraan di tangan orang yang suka ugal-ugalan? Tingginya kematian akibat kecelakaan lalu lintas sepertinya merupakan bukti "kesewenangan atau keteledoran" pengguna jalan. Kalau sudah jelas, mengapa pelaku potensial penyebab kecelakaan ini terus dibiarkan berkeliaran bebas dan menebar teror? Di sisi lain, diketahui adanya tempat-tempat tertentu yang rawan kecelakaan. Dapatkah dibalik: "Kebanyakan kecelakaan terjadi di tempat-tempat yang rawan"? Kalau ya, pertanyaan sebelumnya mungkin perlu ditinjau ulang. Siapakah "pembunuh potensial" yang bebas berkeliaran, apakah "pengguna jalan" atau "tempat rawan kecelakaan"? Keduanya sama, merupakan faktor kondusif yang mendorong "pembrutalan masa", dan merupakan "pembunuh berdarah dingin" yang harus ditumpas!
Sekolah Khusus Jalur Cepat
Bayangkanlah sekolah khusus dengan kelulusan yang cepat. Semua siswa dicampur, dari tingkat mahasiswa, pelajar sekolah menengah, sekolah dasar, bahkan termasuk taman kanak-kanak. Istimewanya, semua siswa belajar di ruang kelas yang sama dengan guru yang berbeda-beda, pada jam yang sama, dengan menggunakan fasilitas yang sama. Kalau terasa aneh dan bodoh (maaf, tapi sungguh demikian faktanya), lihatlah jalan raya! Bus, truk, minibus, sedan, motor, becak, sepeda, gerobak, pejalan kaki, dan entah apa lagi; semuanya berebut secuil jalan untuk melintas. Masih belum cukup, jalan pun sering dialihfungsikan menjadi tempat parkir! Pejalan kaki pasti merindukan trotoar yang nyaman dan aman. Bus, kereta dan kendaraan umum lainnya adalah prasarana utama bagi warga, yang diharapkan selalu melintas tertib dan teratur. Kalau unsur-unsur utama ini ditopang dengan baik, kebutuhan mobil atau motor pasti berkurang. Warga tidak "dipaksa" untuk membeli mobil atau motor. Pengguna jalan yang bukan peruntukannya, harus ditertibkan. Itu benar, tetapi kebutuhan mereka untuk melintas jangan pula "ditiadakan". Kalau kebutuhan dasar bagi semua pengguna jalan untuk "melintas" dipenuhi, jalan raya akan lebih mudah difungsikan sebagai jalur cepat. Kalau masih kurang cepat, silakan masuk ke jalan tol, dan tentu, dengan membayar. Harap jangan dibalik, "Anda harus bayar, sekalipun tetap akan terjebak macet!" Banyaknya warga yang "dipaksa" berkendara pribadi, meningkatkan kebutuhan lahan parkir. Akibatnya, sering kali badan jalan "terpaksa" dijadikan tempat parkir. Andai prasarana umum dibuat nyaman, biaya parkir boleh dinaikkan sehingga warga terdorong untuk berjalan kaki. Pelaku usaha pun diimbau agar selalu menyediakan parkir, kalau tak mau kehilangan pelanggan yang bermobil. Untuk angkutan umum, sebaiknya disediakan halte atau stasiun, dan tak dibenarkan ngetem di banyak tempat. Jalanan yang steril dari parkir akan mendukung kelancaran arus, dan imbauan "Ingin lancar? Antri !!!" akan terasa layak untuk diikuti.
Sembarang Naikkan/Turunkan Penumpang
Dilarang menaikkan/menurunkan penumpang secara sembarangan. Sepertinya aturan ini jelas dan tegas. Sayang sekali, kurang pendalaman mengenai kenyataan dan dampak terapannya. Bagi supir, larangan ini bisa dibalik menjadi tanya, "Di manakah tempat menaikkan atau menurunkan penumpang yang semestinya?" Bagi penumpang, "Kami mesti ke mana dan lewat mana untuk mencapai tempat naik atau turun angkutan?" Agar supir dapat menaikkan/menurunkan penumpang pada "tempatnya", tempat itu harus disediakan, dan seyogianya kondisinya memadai. Untuk berhenti di tempatnya, prioritas harus diberikan kepada semua angkutan umum. Demikian juga untuk angkutan umum kembali ke jalan setelah menaikkan/menurunkan penumpang. Bagi penumpang, trotoar yang layak dari dan menuju tempat perhentian, mutlak diperlukan. Bisa saja ada dalih, kalau trotoar disediakan, pasti dikuasai pedagang. Sangat mungkin, dan itu harus ditertibkan, bukan lantas trotoarnya yang ditiadakan. Tapi, pedagang itu harus ke mana lagi? Berdagang tidak dilarang, tapi prasarananya tidak tersedia. Sebaiknya pemerintah belajar konsekuen. Kalau melarang, sediakanlah solusi yang memadai. Larangan jangan berimplikasi pada "melarang mencari nafkah".
Penutup: Solusi Komprehensif dan Terpadu
Pembenahan lalu lintas harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Semua aspek terkait, sekalipun tidak langsung, harus diperhatikan dan ikut dibenahi. Pusat keramaian/kegiatan dan kantor layanan umum harus mudah dicapai, baik oleh pejalan kaki maupun yang berkendara. Angkutan massal ditambah, dilengkapi prasarana pendukung yang memadai. Keamanan dan kenyamanan semua pengguna jalan ditingkatkan, agar kondusif bagi warga untuk beraktivitas. Pembangunan trotoar harus ditargetkan hingga menjangkau setiap rumah, dimulai dengan semua rumah yang baru akan dibangun. Pemilikan kendaraan harus didukung dengan ketersediaan tempat parkir, bukan menyita badan jalan. Semua pengusaha diwajibkan menyediakan tempat parkir, atau setidaknya "tempat berbagi parkir" dengan kelompok pengusaha yang berdekatan. Semua jalan yang melebar kemudian menyempit dibenahi, agar lajur kendaraan menjadi jelas. Bila memungkinkan, disediakan lajur khusus untuk kendaraan umum, motor, sepeda, dan truk. Setiap persimpangan jalan, harus dilengkapi dengan rambu yang memadai. Parit pinggir jalan dan lubang ditutup. Tempat-tempat perhentian kendaraan disediakan, dilengkapi sarana pendukungnya. Saluran air dan seluruh sistem drainase dibenahi demi menangkal genangan dan banjir. Pemerintah dan DPR harus legowo. Berteladanlah kepada yang benar, apalagi kalau buktinya sudah diupayakan. Studi banding ke Turki atau Yunani atau negara mana pun boleh saja, tapi kalau ada contoh yang baik di kota Solo (dan mungkin di kota lain di Indonesia), jangan pura-pura tak tahu. Tampung dan perhatikan semua masukan, lalu diolah dengan baik. Lalu lintas yang tertib, lancar, aman, dan nyaman adalah kondusif bagi kegiatan dan berkarya, dan itu adalah kebutuhan dasar yang mutlak harus disediakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H